Prolog

26K 2.1K 69
                                    

Manusia memang sebegitu rumit jalan pikirannya. Mereka memiliki segalanya. Namun, acap kali menggunakan apa yang mereka punya untuk hal tidak berguna dan berakhir sia-sia. Padahal apabila mata mereka bisa memandang ke luar belahan dunia, masih banyak orang-orang yang berjuang mati-matian ingin mendapat sebuah kenikmatan bernama kekayaan. Hidup terjamin adalah alasan klise yang sebagian dari mereka sebutkan.

Namun, ada satu dari sekian banyak orang di dunia ini yang tidak tahu cara bersyukur atas apa yang mereka miliki. Dia Arkana Elfreda. Orang yang hobi menghambur-hamburkan uang untuk hal tak berpeluang.

Seorang pria paruh baya berkaca mata bulat itu lagi-lagi menghela napas panjang. Kepalanya mendongak begitu pintu utama rumahnya terbuka. Memperlihatkan sosok bungsu laki-lakinya yang berjalan sambil menggendong ranselnya.

"Arka!" panggil Wira dengan tegas. Wira meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Ayah mau bicara sama kamu."

Arka menoleh ke arah ayahnya sebelum akhirnya berjalan menghampiri. Bajunya kusut, rambutnya masih agak berantakan. Arka duduk di sofa berhadapan dengan ayahnya.

"Ada apa, Yah?" tanya Arka.

"Kuliah kamu bagaimana?" Wira menatap intens Arka.

"Baik, kenapa?"

"Pagi tadi Ayah mendapat telepon dari kampus kamu, menagih uang kuliah semester." Wira menjeda kalimatnya. "Kamu belum bayarkan uang yang Ayah kasih?"

Arka sedikit terlonjak kaget. Dia tiba-tiba jadi panik memikirkan alasan. "Enggak kok Yah, maksud aku-"

"Kamu kemanakan lagi uang itu?"

"Ayah, Arka bisa jelasin." Arka sudah bersiap pindah tempat duduk di samping ayahnya tetapi terhenti saat Wira mengangkat satu tangannya.

"Enggak perlu dijelaskan. Alasan kamu sudah Ayah hafal di luar kepala."

Arka merutuk dalam hati. Biasanya ayahnya akan membayar sendiri, tapi kali ini lewat tangannya yang berakhir tidak sampai tujuan. Dia justru mengalihfungsikan uang itu untuk menuruti kemauan kekasihnya. Uangnya benar-benar ludes walau dia tidak keberatan selama kekasihnya senang.

"Ayah enggak akan kasih uang lagi. Kamu bayar sendiri kuliah kamu."

Arka terlonjak kaget. "Kok gitu? Sebentar lagi Arka ada ujian akhir semester, terus siapa yang mau bayarin?"

Wira berdecak melihat kelakukan Arka yang selalu saja begini. "Kamu lihat, kan? Uang yang kemarin memang enggak seberapa buat Ayah, tapi uang itu Ayah cari susah payah buat kamu. Ayah kerja siang malem biar kamu bisa hidup enak, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya kayak gini. Kamu pikir cari uang itu mudah?"

Arka menunduk dalam. Perkataan ayahnya memang menohok, tetapi ada benarnya. "Maafin Arka."

"Kasih sesuatu ke pacar itu enggak ada yang salah. Yang salah kalau itu sudah jadi penyakit. Kamu harus belajar memilih mana yang lebih prioritas. Jangan disamaratakan."

Melihat keterdiaman Arka cukup lama, akhirnya Wira bicara. "Ayah akan bayar kuliah kamu, tapi ada syaratnya."

Arka seketika mendongak. Menatap Wira dengan binar di matanya. "Apa syaratnya?"

Wira menoleh. "Kamu harus bersedia jadi perawat magang di rumah sakit Ayah."

Wira Sanjaya, orang-orang menyapanya Dokter Wira. Dia adalah dokter spesialis kejiwaan yang memiliki sebuah rumah sakit swasta bernama Rumah Sakit Jiwa Pradita. Salah satu rumah sakit jiwa berkualitas dengan fasilitas super elite dan tentu biayanya tidak sedikit.

Arka mengerjapkan mata. "Maksud Ayah?"

"Kamu harus jadi perawat pribadi pasien Ayah. Namanya Demetria Melodi. Anggap itu hukuman untuk kamu."

Arka menggeleng kuat. "Enggak bisa. Yang ada Arka ikutan jadi gila."

Wira menepuk sebelah bahu Arka kemudian mengulas senyum tipis. "Ayah tahu kamu bisa. Tolong jadikan dia menjadi Melodi yang waras lagi."

Dan perjalanan Arka ... dimulai.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


.
.
.

Follow instagram @wpvanili untuk info-info seputar ceritaku

Love in PsychiatricalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang