44. Teror Pertama

6.8K 937 118
                                    

Semua yang ada di ruangan menjadi tegang melihat Arka. Terlebih ketika pria itu tanpa pikir panjang, mencabut jarum infus sekaligus transfusi darahnya.

"Loh, kenapa dilepas Arka? Kamu masih sakit," ujar Elina, ikut panik.

Dengan tenaga yang begitu minim, Arka menyibak selimut dan mencoba turun dari ranjang. Seluruh sendinya terasa sakit luar biasa bila bergerak. Namun, ia harus menghampiri Melodi. Tidak apa-apa bila ia harus menahan sakit jika hal itu bisa menjadikan Melodi akan baik-baik saja.

"Ar, lo mau ke mana?" tanya Micho khawatir.

Arka tetap diam. Ia berusaha melangkah, tetapi di langkah kedua justru jatuh tersungkur. Ia merutuk dirinya sendiri yang kini sangat lemah.

"Arka kamu mau ke mana?" Wira membantu Arka untuk bangkit.

Arka menatap ayahnya. "Ayah, Melodi dalam bahaya. Arka harus jagain Melodi."

***

Arka terus melangkah tergesa ke kamar Melodi. Kakinya yang telanjang terus dihela meski harus merasakan dinginnya lantai. Kondisi Arka semakin lemah karena memaksakan diri. Kepalanya yang berkunang ia abaikan.

Arka membuka pintu kamar, lalu matanya menyapu pandang ke segala sisi. "Melodi," panggilnya.

Melodi yang duduk bersandar di balik tempat tidur langsung bangkit dan menangis sembari mengulurkan tangan—meminta Arka mendekat. Arka berjalan cepat menghampiri Melodi lalu segera memeluknya.

"Arkana." Melodi memanggil nama Arka berulang kali.

"Iya, gue di sini," balas Arka.

"Odi takut Arkana, tolongin Odi."

Arka mengusap belakang kepala Melodi. "Takut kenapa, hm? Ada gue di sini."

"Kucing," sebut Melodi.

"Lo suka kucing, kan?"

Melodi menggeleng. "Kepala kucing. Odi takut Arkana." Melodi kembali menangis tersedu,

Melodi tidak mungkin bercanda. Gadis itu menyukai kucing. Namun, mengapa malam ini justru terlihat begitu ketakutan? Bahkan, Arka bisa merasakan tremor tubuhnya.

"Mel, genggak paham maksud lo.".

Melodi menunjuk ke arah meja. Arka mengikuti ke arah yang ditunjukkan Melodi, dan begitu terkejut ketika sebuah piring berisi kepala kucing yang berdarah-darah. Saking terkejutnya, Arka bahkan sempat menarik Melodi lebih mundur.

Arka mengalihkan pandangan dari piring tersebut. Bila Arka saja yang seorang pria sampai tidak tahan melihatnya, bagaimana dengan Melodi? Gadis ini pasti ketakutan sekali.

"Itu ... kenapa bisa ada di sini?" tanya Arka.

Melodi menggeleng. "Enggak tau. Ta-tadi Odi kira makanan, waktu dibuka ternyata isinya kepala kucing. Odi takut." Melodi menangis lagi ketika menceritakannya.

***

"Udah dibuang sama Micho, sekarang lo duduk dulu, ya?" Arka melepas pelukannya, tetapi ditahan Melodi. "Enggak capek berdiri terus?" tanya Arka.

Melodi menggeleng dan Arka membiarkannya meski lututnya sedari tadi gemetar, ditambah kepalanya terasa semakin pening dan berdenyut.

Arka memperhatikan ruang kamar Melodi, kemudian menemukan sebuah CCTV "Ayah, bisa kita cek CCTV? Kita harus tau pelakunya," ujar Arka.

"Ya, biar Ayah yang menanganinya dengan tim keamanan," jawab Wira.

"Kurang kerjaan banget ini orang yang naruh sajen enggak berkelas di sini," sela Micho.

Love in PsychiatricalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang