Selama kakinya melangkah menyusuri koridor gedung VIP Rumah Sakit Jiwa Pradita, selama itu pula Arka terus menggerutu. Kejadian tadi di minimarket selain membuatnya kesal ternyata juga membuatnya teramat malu. Malu karena harus rebutan dengan Ibu-Ibu hanya demi pembalut yang kini ada dalam kantung plastik di tangannya.
Namun lebih dari hal memalukan itu, melihat Melodi yang kini sudah dalam keadaan rapi membuat Arka jauh lebih mendidih. Gadis itu sudah mandi, pakaiannya pun sudah ganti.
"Lo?" Arka tercengang di ambang pintu menatap Melodi.
Melodi yang tengah duduk di karpet sembari menonton acara televisi langsung menoleh. "Oh, udah balik?"
"Kok lo udah rapi? Udah mandi? Katanya lo-"
"Odi lupa, ternyata masih nyimpen satu biji pembalut di kamar mandi, hehe," ujar Melodi membuat Arka menganga. Kantung plastik di tangannya jatuh ke lantai.
"Kenapa lo baru inget sih?" tanya Arka kesal.
"Lo bego, ya? Namanya juga lupa, ingetnya pasti belakangan," sahut Melodi.
Arka mengepalkan tangannya. Ia menggeram pelan sembari menatap marah Melodi. "Gara-gara lo, gue jadi ribut sama Ibu-Ibu cuma buat dapetin pembalut. Tapi sekarang lo?" Arka menggelengkan kepala tidak habis pikir.
"Pfft!" Melodi tertawa tertahan sebelum akhirnya berubah ngakak. "Lo ngapain ribut? Sama Ibu-Ibu lagi."
Arka mendengkus. "Ini." Tangan Arka mengambil kembali kantung plastik di bawahnya. "Gara-gara permintaan lo buat beli ini, gue sampe rebutan karena ini barang cuma tinggal satu."
Melodi masih tertawa akibat mendengar ungkapan Arka. Ia bahkan sampai memegangi perutnya yang terasa sakit setelah banyak tertawa.
"Ngapain lo ketawa?" Arka bertanya ketus. Ia beralih duduk dibangku.
"Coba aja tadi gue ikut, pasti gue udah mati karena gak bisa nahan ketawa," ucap Melodi di sela tawanya.
Arka hanya melirik Melodi dengan sinis. "Dasar sinting."
Melodi mengirup udara dalam-dalam agar tawanya mereda. Ia bangkit dari duduknya. Menepuk kedua tangannya yang sempat kotor akan remahan roti.
"Udah ah."Alis Arka tersentak bersama-sama. "Mau ke mana?" tanya Arka begitu melihat Melodi berjalan ingin keluar kamar.
"Kamar Gibran."
"Ngapain?"
Melodi tidak membalas pertanyaan Arka karena gadis itu lebih dulu melenggang pergi hingga tidak terlibat. Namun teriakan gadis itu di luar sana sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Arka.
"GIBRAN BALIKIN PEMBALUT ODI!!!"
Arka mendengkus. "Double shit!" ucapnya tak tertahankan. Kalau ujung-ujungnya minta dikembalikan seharusnya tidak usah pula memintanya beli.
Arka berdecak. Ia kemudian beranjak ingin pergi ke dormitory, namun kepalanya teralihkan sesaat pada sprei tempat tidur Melodi yang belum diganti. Masih ada bercak merah di sana membuat Arka tidak tahan melihatnya. Helaan nafasnya terdengar. Rupanya hari ini pekerjaannya pasti bertambah.
"Triple Shit!"
***
Baru siang tadi Arka membersihkan kamar Melodi, begitu Arka kembali memasuki kamar gadis itu di sore hari, keadaannya sudah seperti kapal pecah. Sisa makanan berceceran di lantai. Bantal yang isinya sudah keluar membuat kesan semrawutan semakin bertambah.
Itu Artinya, mau tidak mau Arka juga yang turun tangan membersihkan kamar ini lagi. Menyuruh Melodi? Mana mungkin dia mau. Menunggu petugas kebersihan? Terlalu lama. Arka bahkan sampai saat ini masih bingung dengan tugas mereka yang tidak terlihat di matanya. Selama ini, Arka lah yang lebih sering membersihkan kamar Melodi ketimbang mereka.
"Astaga, lo abis ngapain sih sampe jadi berantakan gini?" tanya Arka pada Melodi yang rebahan di rempat tidurnya sambil memainkan ponsel yang dimiringkan. Semenjak memiliki ponsel, Melodi memang lebih sering menghabiskan waktu untuk bermain game di ponselnya.
Melodi melirik Arka sekilas, lalu kembali fokus pada layar ponselnya yang menampilkan game masak-masakan. "Tadi main sama Salsa, Arabelle, Lala. Kenapa?"
Arka mengangkat satu alis. "Kenapa? Pake tanya lagi. Lo gak liat kamar jadi kayak kapal pecah?"
"Bagus dong," sahut Melodi santai.
"Bagus dari mananya? Gue yang capek bersihin, padahal tadi baru aja gue bersihin," ujar Arka kesal. Ia dengan setengah hati mulai menyapu lantai.
"Selain perawat sama temen, lo kan juga babu Odi, kok sekarang protes sih?" tanya Melodi membuat Arka berkata tidak terima.
"Enak aja! Gue bukan babu lo!"
Melodi tertawa. "Kirain lo bakal bilang iya, kan Odi mau siap-siap."
Ucapan Melodi membuat Arka mengernyit. "Siap-siap apa?" tanyanya.
"Siapin nyawa cadangan biar gak mati waktu ketawain lo, HAHAHAHA." Setelah menyelesaikan kalimatnya, Melodi tertawa keras dengan tidak tahu malunya.
Arka mendengkus. "Lo kira kucing punya nyawa sembilan? Sinting!"
"Siapa bilang kucing punya nyawa sembilan? Sok tau!" kata Melodi menatap remeh Arka. Ia mengerang kesal saat gamenya berakhir akibat kekurangan waktu. Itu karena ia yang terlalu sibuk ngoceh.
"Terserah lo," pungkas Arka pada akhirnya.
Arka beralih memunguti busa bantal yang terurai. Paling banyak berada di sisi meja Melodi. Entah apa yang mereka lakukan hingga membuat bantal ini menjadi berakhir mengenaskan.
"Obat kaki!" Panggilan Melodi membuat Arka menoleh.
"Apa?"
"Ke rumah lo, yuk," ajak Melodi pada Arka.
"Mau ngapain?"
"Ketemu Bunda Elin," balas Melodi.
"Bunda belum sembuh total, masih harus istirahat, jangan lo ajak aneh-aneh," kata Arka memperingati.
Melodi menggeleng cepat. "Enggak, Odi cuma mau makan sama mau tanya."
Alis Arka saling bertautan membentuk garis tipis di dahinya. "Tanya tentang apa?"
"Ikan."
***
Follow instagram @wpvanili untuk info-info seputar novel Love in Psychiatrical dan ceritaku yang lain ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Psychiatrical
Chick-Lit[ TAMAT | PROSES REVISI ] "Lo itu cewek paling sinting yang pernah gue temui dan kewarasan lo adalah kegilaan yang selalu gue cari sampai mati." Kebiasaan buruk menghambur-hamburkan uang membuat seorang Arkana Elfreda mendapat hukuman dari sang aya...