31. Anak Haram Sesungguhnya.

165 17 7
                                    


"Jika tuhan telah berkehendak, maka kamu bisa apa."

.
.
.
.
.

Happy Reading

Shifa, gadis itu sesekali menekan dengan keras luka memar Alta. Mungkin jika tidak mengamuk pria keras kepala seperti Alta tidak akan berada di bawah pohon rindang ini.

"Ngeringis dikit kek, apa kek. Kesel gue lama-lama. Bucin boleh, bego jangan." Shifa menyorot tajam. "Kemarin mungkin kalau gue terlambat. Well... Dikit aja terlambat. Gue yakin lo tinggal nama."

Alta masih belum bergeming. Dia bungkam dengan pandangan lurus. "Rara mau gue mati. Apapun yang dia inginkan akan gue coba kabulkan."

Dengan keras Shifa membanting kotak P3K di tangannya. Memandang geram Alta yang hanya bergeming tanpa ekspresi.

"Iya, mati aja sana dengan cara bunuh diri kayak kemarin. BUNUH DIRI SANA. Lo cuman pecundang. Pantes Rara gak milih elo."

"Tahu dari awal lo bakal lebih gila dari sebelumnya. Udah dari lama gue cegah lo dekat dengan, Rara."

Setelah melampiaskan amarahnya Shifa pergi dari sana. Meninggalkan Alta dalam keheningan. Semua orang memang selalu meninggalkanya, tak perduli bahwa mereka pernah berjanji untuk selalu stay.

"Sayangnya gue malah senang."

******

Untuk kesekian kalinya. Ia kembali pingsan, menyusahkan banyak orang yang berada di sekitarnya.

Rara masih diam, tak membuka matanya. Mengumpulkan keberanian untuknya itu membutuhkan banyak tenaga. Beberapa saat hanya ada keheningan, Rara masih belum mau tahu siapa yang berada di sekitarnya.

Mungkin juga tidak ada yang menemaninya. Buktinya selama ini saat ia bangun, saat ia pertama kali membuka mata dari rasa sakitnya tidak ada satupun yang berdiri menunggunya. Kecuali Angga yang baru-baru saja menemaninya.

Perlahan kelopak mata dengan dihiasi bulu mata yang lentik terbuka perlahan. Sekali lagi. Rara kembali menutup matanya merasakan tusukan yang kuat melalui biasan cahaya.

"Ada yang sakit? Mau gue panggilin dokter?" Tak asing. Rara dapat mengenal suara itu hanya dalam sedetik, senyum kecilnya terbit membentuk lengkukang bukan sabit yang begitu indah.

"Varo." Netra coklat madu kini menangkap sosok Varo telat di depannya. Selama ini ia hanya bermimpi jika salah satu orang terdekatnya dapat menjadi pertama yang ia lihat. Ternyata tuhan menyayangi dirinya, mencintainya, hingga mengabulkan salah satu permintaanya.

Varo itu penting. Bagaikan nadi dalam kehidupannya.

"Makasih, Var." Rara tersenyum tulus. Ia yakin, jika yang menolongnya di lapangan itu sahabatnya. Iya? Sahabat terbaiknya.

Varo mengerutkan kening bingung. Tak ayal ia mengangguk dengan membalas senyuman di bibir pucat Rara.

"Bangun dulu. Makan! Katanya dokter asam lambung lo naik. Emang kenapa gak makan." Rara memiringkan tubuhnya, punggungnya merasakan nyeri kembali.

"Nanti dulu yah. Gue masih pengen diam dulu."

Varo menghela nafas, menuruti permintaan Rara. Ia tak tega melihat sahabat sekaligus cintanya terlukai tidak berdaya di brankar UKS. Sesak rasanya, hingga udara sepertinya tidak mau berada di sekitarnya meskipun hanya segelintir.

Don't First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang