"Diam bukan berarti tidak tersakiti, bukan?"
.
.
.
.
.
.Happy Reading
Rara berusaha menulikan pendengarannya. Percuma membungkam mulut mereka semua, yang ada bukannya percaya ia justru ditertawakan akibat kekonyolannya.
Jika orang terdekatnya saja tidak percaya lalu bagaimana bisa orang-orang yang bahkan tidak tahu ia memakai dalaman apa hari ini diladeni. Tidak masuk diakal!
Meski merasa sedih tapi ia tidak mau terlalu larut, yang ada luka dalam hatinya semakin tergores begitu dalam. Dan itu yang harus Rara hindari, ia tidak setegar itu untuk berdiri sendiri lagi.
"Mau pulang aja?" Tanya Angga saat melihat Rara berdiri dengan gelisah.
Rara berdeham pelan. Ini bukan dirinya, dirinya sudah terlatih sejak dini. "Untuk apa? Lari dari hinaan mereka yang bahkan gak ada benernya?" Mungkin jika Angga dan Varo bukan orang yang mengenalnya sejak lama sudah dipastikan mereka akan percaya dengan berita abal-abalan seperti itu.
"Maaf-maaf nih ye, gue gak salah, jadi gak perlu lari. Emang kejahatan kalau gue peluk papah gue sendiri? Gue rasa enggak." Rara tersenyum manis. Menyamangati dirinya sendiri dengan kata-kata. Berucap itu memang mudah, tapi yang susah itu bertindak.
Kali ini bibir Rara sibuk berucap memberi kalimat penenang, tapi dirinya gundah.
"Jangan senyum kalau sebenarnya lo pengen nangis."
Perlahan senyum di bibir Rara meluntur. "Kalian semua maunya apasih?"
"Alta selalu minta gue senyum, dan lo selalu minta gue untuk nangis kalau gak kuat. Gue harus ngikutin yang mana? Kalian enak komentar ini, itu," Rara menghembuskan nafas saat menyadari suaranya sedikit melengking, hingga semakin mengundang tatapan penasaran.
"Tapi gue susah untuk melalukannya. Gue pengen bebas setidaknya kalau mau nasihatin gue jangan cuman dari sudut pandang lo atau siapapun, "
"Terserah mau bilang gue egois atau apalah, karena gue gak perduli. Gue mau egois. Supaya gue bahagia."
Kemudian Rara berlalu memasuki gerbang sekolahannya. Berbaur bersama dengan murid yang lain dengan perasaan campur aduk.
Menasihati itu mudah tapi mereka gak tahu perasaan orang yang dinasihati bagaimana. Belum tentu baik dikamu, tapi tidak baik di yang dinasehati. Kadang-kadang manusia gitu. Mereka hanya tahu menasihati tapi kadang juga lupa kalau mereka juga ada masalah pasti hanya ikutin emosi masing-masing.
Terkadang kita hanya perlu menjadi pendengar dan merengkuh. Meskipun tidak membantu banyak, tapi cukup bisa membuat nyaman. Daripada menasihati sana-sini tapi jatuhnya bikin tertekan, lebih baik tidak usah.
Rara memegang kedua tali tasnya dengan erat. Dadanya sesak mendengar kata-kata hinaan untuk dirinya.
"Jalan yang bener dong. Kalau lo jatuh, Alta bakal ngamuk sama nih anak. Padahal lo yang salah!" Seru Nala sambil melepaskan tarikannya dari lengan Rara. Hampir saja gadis itu menabrak pria seangkatannya karena berjalan tidak berhati-hati.
"Maafin gue, " Ujar Rara pelan. Dirinya merasa bersalah pada pria berkaca mata itu. "Gue kurang fokus."
"Yaudah sana pergi. Lo mau ngapain lagi?" Nala berucap galak pada adek kelas berkaca matanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't First Love
Teen Fiction"Jika kamu mencintai seseoang, maka lepaskan dia. Jika seseorang tersebut kembali, ia milikmu. Namun jika tidak ia memang bukan untukmu." ****** Kata orang jatuh cinta itu pilhan, tapi bagi seorang Qiandra Brunella jatuh cinta itu petaka, Sebab jatu...