"Takdir itu tidak kejam, hanya sedang jahat saja."
.
.
.
.
.
.Happy Reading
Dengan kesadaran yang berada di ambang batas, Rara tetap mempertahankan kesadarannya, tatapan mata gadis itu tidak pernah lepas dari wajah Alta yang saat ini tidak jauh darinya. Wajah lelap Alta yang di hiasi dengan darah kering semakin membuat Rara mati rasa.
Saat brankar mereka masuk di ruang berbeda detik itu juga pertahanan Rara pecah. Air matanya mengalir dengan daras. Bukan karena luka di tubuhnya tapi luka di hatinya.
Pembawa sial itu dirinya. Seseorang yang selalu berada di sekitarnya akan mendapat musibah karena dirinya. Salah satu alasan itu yang membuat Rara semakin merasakan sesak, tidak lagi memperdulikan dokter yang akan memberinya suntik bius.
"Jangan! Jangan suntik saya, jangan biarkan saya kembali di hantui rasa sakit di alam mimpi," ujar Rara lirih. Matanya mengarah kosong kearah plafon UGD. Dokter itu menghela nafas, pasiennya kali ini benar-benar seperti mayat hidup, tidak meringis atau pun mengeluh sakit.
"Ini akan lama, sakitnya akan begitu lama," terang dokter wanita itu dengan tenang. Rara menoleh sebentar, tersenyum getir.
"Setidaknya lama sakit itu tidak mengalahkan sakit hati saya selama ini," balas Rara bergetar. Bibirnya yang pucat kini tersenyum getir.
Akhirnya Dokter Anita mengangguk menyetujui permintaan Rara, wajah gadis itu sering ia lihat bersama dengan Dokter Alfian. Riwayat penyakit Rara kadang ia yang tangani.
"Kamu tarik nafas aja dulu, ini akan terasa begitu sakit, karena di betis kamu ada beberapa pecahan kaca yang masuk," tutur Dokter Anita mulau mengecek kestabilan tubuh Rara. Tetap saja Rara berbaring dengan tidak bergeming sedikit pun.
Beberapa suster dan Dokter Anita mulai mengambil tindakan di kaki bagian kiri Rara yang memang lebih parah dari yang lain, wajar saja ia hanya memakai dress selutut.
Kulit kaki Rara mulai di buka secara perlahan, pecahan kecil kaca sudah melukai beberapa aliran darahnya. Sekali lagi Dokter Anita menatap Rara masih terdiam, seolah tidak merespon rasa sakit pada kakinya.
"Pembawa sial itu aku?" tanya Rara bergumam. Tangisannya semakin deras turun, ia hanya mencengkram brankar sebagai pelampiasannya.
Semua orang yang sedang mengobati gadis itu merasa prihatin pada Rara. Gadis itu begitu terlihat rapuh dengan caranya yang luar biasa.
"Aku selalu ngelukain Alta. Tapi kenapa dia yang harus kayak gini," lanjut Rara semakin tida terkontrol. Suara EKG berbunyi nyaring saat kesadaran Rara semakin menurun.
Dokter Anita bertindak cepat. Ia menatap salah satu suster agar melanjutkan pekerjaannya.
"Apa kau masih bisa mendengarku? Jika iya ku mohon jangan tertidur," suara Dokter Anita mengalun, ia mengkode tim yang lain agar terus melanjutkan jalannya pengeluaran kaca di kaki Rara.
"Kenapa kau tidak membiarkanku mati, dok? Sebentar lagi pun aku akan pergi. Aku takut... Begitu takut," racau Rara dengan mata sayunya. Ia tersenyum lemah menatap Dokter Anita.
Dokter Anita berdiri dengan tegar berusaha tetap menjaga kesadaran Rara. Memang berat apalagi gadis itu tidak di bius sama sekali, bayangkan saja pisau bedah yang menggores sepanjang kulut kaki mu hingga menembua daging.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't First Love
Ficção Adolescente"Jika kamu mencintai seseoang, maka lepaskan dia. Jika seseorang tersebut kembali, ia milikmu. Namun jika tidak ia memang bukan untukmu." ****** Kata orang jatuh cinta itu pilhan, tapi bagi seorang Qiandra Brunella jatuh cinta itu petaka, Sebab jatu...