30. Langit Dan Bumi

144 19 2
                                    

"Kau tetap milikku, meskipun jika aku bukanlah milikmu."
.
.
.
.
.

Happy Reading

Rembulan yang berada di atas sana sudah  mulai memancarkan sinarnya dengan mengusir secara perlahan kegelapan mulai merayap malam hari. Tapi gadis dengan tubuh yang tertelungkup diatas ranjang itu tidak menginginkan cahaya dari sang rembulan. Karena apa?

Karena baginya cahaya sudah lama redup. Tidak ada cahaya, hanya ada kegelapan yang selalu menghantui seluruh kehidupannya.

Matanya tidak terpejam tapi seolah hanya ada kekosong yang berada di dalamnya. Rara sudah lima jam sejak kajadian dimana ia hampir mati ditangan mamahnya sendiri kini hanya terlukai lemas di dalam kamarnya tanpa satu orangpun mengobati seluruh yang berada di tubuhnya ataupun sudut hatinya yang kembali terluka.

"Harusnya mamah bunuh Rara aja tadi. Kenapa buat Rara cuman sekarat setengah-setengah."

Hening. Hanya keheningan yang menyelimuti kini hingga nanti. Sekuat apapun ia berhenti untuk menyelesaikan masalahnya dengan pikiran yang hampir pecah nyatanya sampai suatu saat nanti masalahnya tidak akan selesai.

"Rara mau mati aja. Gak ada yang sayang Rara kan di dunia ini?" Gadi dengan darah yanh sudah mengering di lengan, punggung, betis dan paha kini berjalan dengan tertatih menuju meja rias yang terdapat di pojok kamar.

Wajahnya begitu sembab dengan mata yang memerah oleh air mata yang telah mengering.

Tangannya dengan bergetar membuka laci meja rias. Dengan senyum yang mengembang ia meraih sebuah pisau kecil yang sudah lama tak terpakai.

"Coba-coba sedikit gak bakal dosa kan tuhan?" Entah pada siapa Rara bertanya. Mungkin pada takdir yang membawanya hingga titik terendah

Kaki jenjangnya melangkah menuju toilet yang barada di dalam kamar, membuka knop pintu secara perlahan lalu berdiri tepat di bawah shower.

Rara memejamkan matanya saat merasakan air yang mengalir dengan pelannya. Memberi sensasi dingin pada kulit saat air perlahan membasahi tubuh.

Senyun manis Rara kini begitu terlihat remang-remang. Ia menatap pisau kecil yang telah sejajar dengan pergelangan tangan kirinya.

Perlahan tapi pasti. Ketajaman yang berada di pisau itu kini menyayat kulit pucatnya. Mengeluarkan cairan berwarna merah pekat yang kini bersatu dengan aliran air hingga menyentuh keramik lantai.

"Aku masih hidup kok." Rara bergumam pelan sambil memejamkan matanya saat sensai perih dan ngilu kembali ia rasakan. Tapi rasanya tidak sesakit yang kini hatinya rasakan.

Masih belum puas Rara kembali menggoreskan lebih dalam disisi lain pergelangan tangannya. Sungguh, Rara dapat merasakan sensasi lain dari kata sakit yang ia alami saat ini.

Malam itu hanya dengan hening Rara bermain dengan hidupnya yang tampak kelam dan kelabu. Ia menikmati warna lain dengan kesendiriannya.

******

Saat cahaya matahari menyeruak melalui celah gorden hingga mengusik ketenangan Rara yang baru saja terlelap. Ia mengerjapkan matanya perlahan saat silau menusuk retina matanya.

"Kenapa sih cepat banget paginya?"

Rara perlahan duduk dengan keadaan yang begitu pucat. Matanya merah dan terasa perih, dan suhu tubuhnyapun sedikit tinggi. Rara menghela nafas pelan saat merasakan perih pada punggung terutama pergelangan tangannya.

Don't First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang