45. Hari Kedua.

115 14 31
                                    


"Kenangan itu bukan untuk dilupakan, tapi untuk kita kenang."
.
.
.
.
.
.

Happy Reading

Pagi ini, mereka semua berkemas, mulai dari perlengkapan kesehatan, makanan ringan, minuman, dan beberapa barang yang di butuhkan untuk perjalanan seharian nantinya.

Rara mengatur keseimbangannya yang sempat goyah, ia harus memulai harinya dengan senyum ceria seperti sebelumnya. Keberadaan Keano bukan penghalang untuk membuatnya menjadi sedih.

"Semalam kenapa gak balik tenda?" namun, dalam sekejap sirna. Karena nyatanya Karen tidak membiarkan ia menerbitkan senyum terbaiknya sebagai bentuk awal penyambut hari.

Mau menghindar, sudah tidak bisa lagi. Rara berdeham singkat. Memilih jalur pura-pura bodoh sepertinya lebih baik, daripada harus berjawab jujur.

"Gue tidur di hotel, sesuai dengan informasi yang lo sebarkan ke sekolah gue yang baru,  atau sekolah lama gue."

Rara tersenyum lemah, ia tahu semuanya. Karen yang menyebar fitnah itu semua. Namun, memilih diam, demi Keano yang begitu menyayangi Karen. Lagipula, tidak akan ada yang percaya dengannya, jika semua itu hanya bualan Karen semata. Di mata publik, gadis cantik dengan warna kulit eksotis itu memiliki citra yang baik.

Tidak seperti dirinya, pembuat onar sejak awal masuk sekolah. Selalu membawa berita miring.

"Karen nanya baik-baik, kok, lo nyolot , sih? Gue gak nyangka aja. Sahabat yang dulu gue bela-bela ternyata seburuk itu faktanya," ujar Ratu penuh ketidak sukaan yang begitu nyata.

Beberapa murid sudah mulai berbisik melihat perdebatan mereka, awalnya Rara tidak ingin memancing tapi suara Ratu yang tinggi itu menarik perhatian mereka.

"Gue? Nyolot? Kalau iya, kenapa? Nyatanya, sahabat yang gue pikir selalu ada di samping gue itu cuman halusinasi. Seperti yang gue bilang di awal, lo bakal pergi. Sama seperti yang lain, itu kesimpulan gue," sahut Rara begitu miris. Percaya pada orang yang kita sayang, apalagi orang itu sahabat begitu mudah. Tetapi, membangunnya itu yang susah.

Saat ini Ratu sendiri yang menghancurkannya. "Namun, lo berhasil buat gue percaya akan adanya sahabat perempuan. Selamanya, lo sahabat gue."

Rara memundurkan langkahnya perlahan, mengenang setiap memori dimana Ratu selalu menggenggam tangannya. Mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Selalu menyemangatinya, meski kadang ia menolak.

Satu hal yang Rara mengerti selama ini, jika hidup adalah komedi bagi yang berpikir, tragedi bagi yang merasa, maka hidup adalah kemanangan bagi orang yang percaya.

Sebab itu, Rara memilih percaya pada takdinya, meski kadang meragukan ia akan kembali menepis yang jauh.

******

"Mukanya kenapa kusut?" alis tebal Alta kini terangkat sebelah, kebiasaanya jika sedang bertanya. Kini, keduanya sudah bergabung dengan kelas mereka masing-masing.

Rara memilih bungkam. Tidak ingin semakin merusak suasana yang sudah begitu baik ini. Rasanya aneh saja jika menceritakan masalah perempuan dengan lelaki yang selalu bersikap romantis dengannya.

"Gak ada, cuman masih kepengen duduk di pinggir tebing lagi. Kayak semalam," kilah Rara meluruskan pandangannya ke arah depan. Berpura-pura fokus mengikuti arahan.

Don't First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang