50. Lupa Atau Sengaja.

173 19 11
                                    


"Janji hanya sekedar kata yang terlihat manis, tapi menyakitkan."

.
.
.
.
.

Happ Reading

Rara mengganti baju sekolahnya dengan seragam olahraga, beberapa jam kedepan seluruh kelas akan jamkos. Biasa surganya para murid-murid seluruh indonesia.

Sudah setengah jam Rara berada di runganan  karate, tetapi batang hidung Alta juga belum nampak. Mungkin banyak urusan pikir Rara.

Gadis itu sedang tidak ingin banyak pikiran, karena kepalanya sedang pusing. Ia memilih menghampiri Nala yang sedang memberi beberapa intruksi.

"Gue ngapain?" tanya Rara setelah Nala menyelesaikan beberapa petuahnya.

Nala bergumam pelan, nyaris tidak terdengar. "Lo pernah belajar karate?" bukannya menjawab, justru Nala lebih memilih melemparkan balik pertanyaan. Pasalnya, tadi ia dengan random mengajak Rara ke ruang karate saat mendengar kabar dari Shifa.

"Pernah sebentar," ujar Rara tanpa menutupi-nutupinya. Ia akan menjawab jika memang tidak mengganggu privasinya.

"Oke! Kita sebentar lagi bakal duel untuk aju kemampuan." Rara melempat tatapan malasnya. Tak ayal, gadis dengan rambut untuk pertama kalinya terurai itu ikut membantu yang lainnya mengangkat matras.

Rara membantu gadis yang beberapa saat lalu sempat mencemoohnya. "Sini gue bantu," tanpa menatap Rara membantu Ambar.

Ambar terpengarah sebentar dengan kebaikan Rara yang terlihat begitu tulus. Pikirannya berkecamuk. Lalu ia menepisnya dengan jauh. Semua orang yang ada di ruangan terdiam, Rara menjadi pusat perhatian.

Rara memang jarang berinteraksi dengan murid lainnya, mereka haya mendengar tentang Rara. Jangan heran, manusia memang begitu. Mereka hanya mempercayai apa yang di lihat dan mereka dengar, selebihnya benar atau salahnya itu mereka lupakan.

"Kenapa pada diem?" Kening Rara berkerut. Ia menepuk kedua tangannya yang terkena debu.

Nala menggeleng pelan, ia juga bingung dengan dirinya sendiri. Menagapa ia merasa tidak enak dengan Rara, padahal pembawaannya sejak dulu itu cuek. Hanya pada orang terdekatnya saja ia perduli.

"Diem-diem bae, ayok cepetan, keburu lo pada berubah jadi malin kundang semua disitu," seru Rara kembali mengangkat matras dengan susah payah. Ia kemudian tersenyum saat Ambar ikut membantunya.

"Maaf soal yang tadi, gue gak suka aja lihat lo selalu di kelilingi keberuntangan. Iri aja gitu," sesal Ambar pelan.

Rara tersenyum kecil. "Gak semua yang lo lihat itu benar. Mungkin lo anggap gue di kelilingi keberuntangan, yah mungkin."

Semua menyadarinya. Rara seolah ragu, jika ia dikelilingi oleh keberuntungan.

"Gue ada tebak-tebakan nih, ada yang mau jawab enggak?!" Rara berbicara lantang. Ia duduk selonjoran sambil mengusap peluhnya, mereka diberi waktu lima menit untuk beristirahat.

Nala dan yang lain ikut duduk bergabung dengan Rara.

"Apa?"

Don't First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang