29. Rahasia Besar

155 19 2
                                    

"Mengapa berat mengungkapkan cinta padahal dia ada?"
.
.
.
.
.
.

Happy Reading

Ruangan bernuansa putih dengan aroma obat-obatan itu kini menyambut Rara saat baru saja membuka matanya. Ia hanya membuka mata, tidak ada pergerakan yang Rara lakukan selain matanya yang sempat bergerak tadi.

"Eh... Rara!"

Suara itu menyentak Rara kealam sadarnya. Ia menoleh dengan senyum kecil di bibir pucatnya. Orang yang selama ini menjadi musuhnya kini berdiri diambang pintu.

"Minum dulu." Angga membantu Rara duduk dengan perlahan. Pria dengan balutan jaket bomber itu tersemyum lembut dengan pergerakan Rara.

Rara kemudian kembali berbaring lagi. Rasanya ia seperti mati rasa. "Makasih! Maaf, buat lo repot untuk sekian kalinya." Lirih Rara memejamkan matanya perih.

Angga menarik kursi yang berada di samping brankar. "Kenapa sih lo gak kasih tahu keluarga lo atau setidaknya Varo. Mungkin kalau gue gak temukan lo lagi pingsan, gue juga gak bakal tahu tentang semua ini."

Gadis itu masih bungkam sambil menatap langit-langit kamar inapnya. "Semua ini lebih baik. Gue udah terlalu banyak nyusahin semua orang. Gue gak mau buat mamah gue jadi tambah benci dengan punya anak penyakitan kayak gue."

Dapat Angga rasakan nada perih dalam suara parau Rara. Gadis dengan sejuta tingkah laku yang tidak bisa mereka tebak itu nyatanya juga mempunyai sejuta kepedihan yang tidak orang ketahui.

"Saya sepertinya mengganggu pembicaraan serius kalian rupanya!" Keduanya sontak menolehkan kepala kearah pintu. Mereka serentak menggeleng, tidak benar pada pria dengan berjas putih itu.

Angga berdiri dengan senyum kikuknya. "Enggak sama sekali, dok."

"Kalau begitu bisa saya berbicara sebentar dengan anda?" Tanya Dokter Alfa serius. Matanya beberapa kali melirik Rara yang seolah tak acuh.
"Hallo, Rara. Gimana, udah merasa baikan?"

"Saya nggak penyakitan." Balas Rara sambil memejamkan matanya. Ia merasa sesak, seperti ada dua bongkah batu yang menghimpit dadanya. Rasanya sesak dan ia membutuhkan obat untuk menyembubkannya.

Angga yang melihat raut canggung pada Dokter Alfa segera mengambil alih pembicaraan.
"Gue pergi dulu. Jangan coba-coba kabur." Peringat Angga kemudian mengikuti langkah kaki Dokter Alfa.

Setelah mendengar  suara pintu yang tertutup tanpa bisa Rara cegah air matanya mengalir. Hingga suada isak tangis memunuhi ruangan bercat putih dengan bau obat-obatan yang menyengat.

"Hiks... Hiks..."

Rara memukul dadanya yang begitu sesak. Ia bermimpi ingin Irene atau setidaknya siapapun selain Angga yang berada disampingnya saat ia membuma mata saat berada di rumah sakit. Tapi kenapa begitu sulit?

"Hiks... Gue gak pernah minta macam-macam. Hiks... Dari kecil gue cuman diam tanpa meminta hiks... Tuhan Rara sekarang cuman minta kasih umur yang panjang buat Rara hiks... Apa bisa?"

Ia hanya ingin umur yang panjang setidaknya sampai semua orang menganggap keberadaanya.

Dengan perlahan Rara menghapus air matanya, ia menurunkan kakinya hingga menyentuh lantai rumah sakit. Sambil mendorong tiang infus yang terpasang di tangan kirinya, Rara melangkah menuju ruangan Dokter Alfa.

Don't First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang