42. Camping

127 15 0
                                    

"Jika kamu memang berharga di mata seseorang, tak ada alasan baginya untuk mencari seseorang yang lebih baik darimu."
.
.
.
.
.
.

Happy Reading

"Masih dingin?" Mata Alta yang segelap langit malam kini memandang Rara dengan lembut. Mendebarkan dan memukau.

Rara mengangguk singkat, di kedua tangannya terdapat cangkir plastik berisikan teh hangat pesanan Alta. Keduanya memutuskan berhenti sebentar di salah satu kedai yang cukup ramai.

Klise saja Rara kini yang memakai jaket kebesaran Alta hanya diam memandang kearah jalanan. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi tapi cukup memprihatinkan jika dilihat.

"Kalau capek, berhenti. Jangan dipaksain. Apapun yang diawali dengan kepaksaan jatuhnya malah sakit. Gue gak bisa lihat lo sakit," ujar Alta begitu dalam. Tatapan matanya bahkan dapat dengan mudah jika ia sama terlukanya dengan Rara.

Suara cangkir yang diletakkan pelan di keheningan menjadi alunan melodi. "Bertahan atau melepaskan itu sama sakitnya. Gue bukan bertahan untuk hubungan kami, tapi menjelaskan kalau gue gak seperti yang dia pikirkan."

"Gue cuman mau Keano percaya, seperti lo percaya ke gue."

Dengan raut wajah yang sama Alta menghela nafas. Jari telunjuknya ia ketukkan beberapa kali di atas meja. Sampai kapan pun seberapa besar usahanya, Alta mengerti jika tidak ada tempat untuk namanya di dalam hati Rara.

Hujan di luar sana masih mengiring setiap pembicaraan mereka.

"Kita coba lagi besok. Selama lo masih kuat gue bantu, tapi kalau lo nyerah pundak gue selalu siap jadi tempat lo besandar," tutur Alta dengan dilengkapi senyum kecilnya. "Apartemen gue deket sini. Mau pulang kesana atau rumah lo?"

Rara diam sejenak, berpikir sebentar. Jika ia di rumah bukan tidak kungkin lagi jika ia melukai diri kembali. Kepercayaannya pada Alta menjadi sebuah janji tersendiri jika ia akan baik-baik saja selama berada di sisi pria itu.

"Kemana pun lo gue ikut, jangan tinggalin gue sendiri. Gue udah gak punya siapa-siapa, selain tuhan."

Alta berdiri begitu pun dengan Rara. Keduanya melangkah keluar dengan sebuah payung hitam menjadi penghalau hujan yang ingin kembali membasahi mereka. Jemari Alta yang tadi berada di dalam saku keluar perlahan meraih jemari mungil Rara untuk ia genggam dan beri kehangatan.

Insting Rara tergerak untuk melihat tautan mereka. Ia merasa deja vu, mengingatkan ia pada pertemuan pertama yang begitu mengejutkan.

Di bawah derasnya hujan Alta memberikan seluruh cintanya tanpa bisa Rara lihat dengan mata terbuka.
Meski begitu Alta tidak menuntut apapun, ia memberi tanpa meminta untuk diberi sesuatu.

Selama ini tidak ada yang pernah memberi Alta cinta, tapi ia berhasil memberi orang lain cinta yang begitu besar.

Rara semakin merapatkan tubuhnya pada Alta agar tidak terkena percikan hujan.

"Kalau gue minta ambilkan bulan lo bisa nggak, Al?" Rara mengeraskan suaranya agar dapat mengalahkan suara kerasnya hujan. Dengan langkah seirama mereka berjalan diatas trotoar yang sepi.

Don't First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang