20. Meluapkan Amarah

215 26 3
                                    

Happy Reading

❤❤❤❤❤❤

"Lho!"

Kesadaran Rara sepenuhnya kembali hanya karena lampu kerlap kerlip di sekitarnya. Ia tentu sangat tahu bahwa ini bukan rumahnya, suara hiruk piruk pun semakin membuat kantuk Rara hilang. Yang tergantikan dengan sebuah kerutan didahi.

Ia menoleh pada Alta yang sedang mematikan mesin mobil. Tentu Rara sudah duduk diposisi yang normal meskipun harus melalui perdebatan yang cukup panjang dengan pria kulkas itu.

"Turun dulu. Itu ada penjual martabak" sontak mata Rara mengikuti arah yang Alta tunjuk. Beberapa penjual masih berada disana bersama dengan penjual martabak.

"Gak usah, gue mau pulang aja. Kan tadi udah dibilangin lagi gak ada duit alias boke" ujar Rara malas. Ia ingin cepat pulang dan tidur dengan nyenyak. Tubuh dan hatinya perlu diistirahatkan.

Alta tetap tak menghiraukan perkataan Rara, ia melepas sabuk pengamannya kemudian menoleh pada Rara yang memasang wajah memelas.

"Turun sendiri atau perlu dibantu?!"

Rara mendengus dengan sifat otoriter milik Alta yang baru muncul kepermukaan.
"Gak mau Alibaba. Gue gak mau"

Pria itu mengangguk dengan pelan tapi tanpa aba-aba secepat kilat ia turun dari mobil kemudiam memutarinya, membukakan Rara pintu mobil.

"Fine... Gue turun sendiri" putus Rara kesal. Buru-buru Rara menepis tangan Alta yang sudah siap menggendongnya keluar dari mobil.

Mereka berdua berjalan beriringan menuju stand martabak manis yang berada diujung. Lalu duduk disalah satu kursi plastik yang telah disediakan.

"Mau rasa apa?"

"Terserah aja"

"Setahu gue, menunya gak ada yang terserah"ucap Alta begitu santai. Pria itu menunjukkan menu yang ditempel.

"Ish! Maksud gue apa aja. Terserah" decak Rara sambil memgerucutkan bibirnya kesal. Ia menopang wajahnya malas, tapi memikirkan martabak manis yang nanti akan memanjakam lidahnya ia menjadi sedikit berbunga-bunga.

"Gak ada dimenu apa aja, terserah. Gak ada! Adanya kacang, stroberi, coklat----"

"Martabak manis rasa keju" Rara memotong kalimat Alta dengan cepat. Lama-lama Alta bisa begitu cerewet jika dibiarkan, Rara sih tak masalah tapi hanya sedikit aneh. Mengingat image pria ini yang begitu dingin.

Setelah itu terjadi keheningan diantara kami berdua, Rara tidak akan merasa keberatan apalagi mengingat yang ditemaninya saat ini Alta. Pria itu hanya diam, duduk dengan wajah tenang sambil melihat televisi kecil yang telah disediakan.

"Cita-cita lo jadi apa?!"alis Alta terangkat mendengar pertanyaan Rara. Tidak biasanya aja gadis itu menyunggung soal privasinya, jadi ia sedikit merasa aneh. "Gak udah dijawab kalau gak mau"lanjut Rara saat melihat Alta yang masih diam dengan menatap wajahnya.

"Dokter!"

"Gue pengen jadi doktor, supaya bisa sembuhin orang-orang yang gue sayang" jawaban tak terduga dari Alta memang membuat Rara sedikit terkejut. Diluar ekspetasi dan begitu menggila. Selama ini Rara susah untuk penasaran terhadap orang lain entah itu Varo sahabatnya, atau Keano sang pemilik hatinya. Tapi justru dengan orang baru yang meminta sepuluh permintaan padanya, ia merasa begitu penasaran bahkan untuk hal kecil.

"Udah banyak kok yang jadi dokter. Mereka pasti bisa nyembuhin orang-orang" sahut Rara.

"Gak semuanya atau pengecualian untuk orang yang gue sayang, karena dokter gak bisa" ucap Alta terlihat santai, tatapan mata yang masih lurus dan tak memandang kearah lain. Entah ini hanya perasaan Rara saja bahwa semakin membahas masalah ini pria itu terlihat membangun dinding kokoh yang begitu tinggi dan susah untuk ia lewati. Dingin dan tak tersentuh.

Don't First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang