47. Siuman.

152 19 19
                                    

"Siklusnya akan terus seperti ini. Kamu yang tersakiti, atau aku yang disakiti."

.
.
.
.
.

Happy Reading

Mata elang Alta yang seakan tidak pernah lelah untuk hari esok lalu esoknya lagi. Hanya fokus pada satu objek, seolah energi kehidupannya hanya berasal dari satu hal itu.

Malam itu, angin yang berhembus, tidak menggentarkan Alta untuk berpaling. Hanya terus menunggu, biar pun tiga hari telah berlalu. Tidak ada yang bisa menggeser posisinya untuk berada di samping Rara.

Kerusakan organ bagian dalam Rara yang menjadi masalah, hingga berimpas pada pemulihan gadis itu.
Terus menutup mata, seakan alam mimpi jauh lebih membuatnya nyaman.

"Sayang bangun..." Alta menempelkan punggung tangan di pipinya yang dingin.

Wajah Rara yang tertidur pulas menjadi imajinasinya tersendiri untuk tidak berpaling. Namun, rindu itu jauh lebih besar. Iya! Alta rindu mata Rara, segala ocehan gadis itu, senyumannya. Ia merindukan semuanya.

"Coba lihat deh, gue udah minta papah, kasih kamar lo yang berhadapan langsung dengan langit bertaburkan bintang," tutur Alta menolehkan kepalanya ke arah jendela yang terbuka lebar.

Alta mengusap perlahan permukaan kulit lengan Rara. Sambil berbisik ia mendekatkan kulit itu ke arah bibirnya yang lembab. Mengecupnya pelan dan penuh damba. "Gue kangen lo, semuanya. Apapun! Apapun yang lo mau, bilang sama gue, asal lo bangun."

"Jangan lama tutup matanya, gue gak sekuat Dilan yang bisa nahan rindu. Karena, gue Alta. Manusia yang menginginkan lo bangun, terus senyumnya untuk gue."

Seperti malam-malam sebelumnya, Alta akan selalu menginap di kamar rawat itu. Tidak ingin beranjak meski sesaat, ia takut jika sedetik saja meninggalkan Rara, justru gadis itu tidak ingin membuka matanya. Selamanya.

Ketakutan Alta terbentuk akan masa lalu, membuat ia trauma akam kepergian orang ter-sayang.

"Makan dulu!" Regan yang baru saja datang segera meletakkan paper bag  di atas nakas. Sama seperti Alta yang tidak pernah beranjak, Regan pun selalu menyempatkan diri menjenguk Rara.

Alta tidak melirik sedikit pun, ia masih memandang wajah Rara yang tenang. "Gue pikir, lo benci banget selama ini sama gue," ujar Alta menyinggung permasalahan itu.

Regan yang menempatkan bokongnya di sofa tersenyum kecil, ia mengedikkan bahu tidak perduli. "Iya, emang benar! Tapi, gue gak sekekanak-kanakan gitu."

"Setidaknya, gue cuman mau saat ini lo gak buat dua orang yang gue sayang di dunia ini sakit."

Ucap Regan menatap punggung Alta yang menegang, tanpa menyebut nama saja dapat membuat pria itu menegang.

"Gue keluar dulu, baju sama makanan lo semua udah ada di situ. Jangan kayak robot berjalan. Gue gak mau saat Rara bangun nanti, justru, dia yang gantian nunggu lo di rumah sakit."

Setelah itu Regan melenggang pergi meninggalkan Rara bersama Alta dalam ruangan itu.

Nafas Alta memburu, tenggorokannya tercekat akan kalimat Regan yang seakan menahan seluruh oksigen untuk memasuki paru-parunya.

"Sewaktu-waktu gue buat salah, tegur gue, pukul gue, supaya gue kembali ingat. Gue takut, Ra. Takut! Sewaktu-waktu gue nyakitin lo," bisik Alta lalu perlahan menutup matanya. Menempatkan wajahnya di antara lengannya, dengan lengan Rara sebagai tempat ternyaman.

Don't First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang