28. Hati Yang Tersakiti

149 19 2
                                    

"Kita tidak akan mungkin lupa rasa pahit secangkir kopi, seperti halnya cinta yang tak pernah lupa rasanya dilukai."
.
.
.
.
.

Happy Reading

Suara gemericik hujan menjadi melodi tersendiri bagi pecinta alam. Bulan ini menang sudah waktunya musim penghujan jadi tidak heran jika satu minggu bisa sampai empat kali hujan.

Rara, gadis itu berjalan sendiri di tengah koridor yang telihat lenggang, bukan karena terlambat tapi ia ingin menghindari Keano yang beberapa hari terakhir selalu menjemputnya. Jadilah ia sekarang datang terlalu pagi ke sekolah.

Tubuh Rara memang menapak tapi pikirannya melayang tidak tentu arah.
"Masih mikirin ucapan gue kemaren?!"

Seketika langkah kaki Rara terhenti, kepalanya menoleh perlahan pada pria bermata coklat di sampingnya. Mereka berdua berhenti melangkah tepat di tengah-tengah koridor.

"Apaan! Gak logis juga, kalau gue mikirin kayak begituan." Acuh Rara. Tangannya semakin erat di balik saku jaket. Mempercepat langkah semampunya.

Regan Bagaskara. Pria bernata coklat terang, dengan sifat tempramental.

"Gak logis?" Beo Regan, mengerutkan keningnya.

Rara mengangguk ragu. "Iya. Suka sama Alta aja gak pernah ada di bayangan gue, apalagi sampai cinta."

"Terus kenapa lo begitu kepikiran." Balas Regan telak. Senyum pria itu menyudut sinis, dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. "Walaupun gue kepinginnya alibi lo itu bisa jadi nyata."

"Karena gue pikir kalian kurang waras, dan semua urusan gue itu bukan urusan lo." Ujar Rara tajam. Dirunya terusik entah karena apa, hatinya berdebar tidak menentu dan terasa kosong.

Pria bertubuh tegap dengan tatapan legam. Regan berucap. "Orang kurang waras pada dasarnya lebih jujur daripada pada orang waras..."

"...Ara" Regan menunduk dengan senyuman manisnya, meneliti perubahan raut wajah Rara yang menegang.

"Siapa lo sebenarnya? SIAPA?" Pekik Rara gemetar. Selama inj hanya Varo yang ia perbolehkan memanggil nama kecilnya tidak dengan orang lain.

Bola mata Regan semakin mengusik Rara begitu dalam. Menekan batinya yang memang sudah tertekan.
"Menurut lo gue siapa. Gue jelas Regan, Regan bagaskara"

Tanpa bisa menahan Rara memajukan langkahnya. Menarik kerah kemeja sekolah Regan dengan nafas saling beradu. "Berhenti panggil Gue, Ara. Karena gue gak kenal siapa elo. Dan berhenti ngurusin kisah hidup gue. Lo bukan siapa-siapa."

Sedetik kemudian Rara berbalik dengan langkah cepat. Air matanya menggenang dipelupuk mata.

"Gue yang bukan siapa-siapa, dimasa depan lo akan jadi salah satu bagian kisah lo... Ara."


*****

R

ara menumpukan tangannya di kedua lutut, sambil membungkuk ia menepuk dadanya pelan. Rasanya begitu sakit saat ia kesulitan bernafas.

Langkahnya semakin terasa berat dengan seiring ia begitu tertinggal oleh kecepatan langkah kaki Alta.

"ALTAAA, KALAU GUE ADA SALAH KASIH TAHU GUE. BUKAN ACUHIN GUE KAYAK GINI." Teriak Rara dengan nafas terengah. Beruntung kelas sejak tadi sudah masukkan, pria dengan sorot misterius itu selalu mengacuhkannya saat pertama kali masuk kelas.

Don't First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang