44. Hujan Badai.

144 18 4
                                    


"Jatuh hati tidak pernah bisa memilih, tuhan yang memilihkan,  kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus."

.
.
.
.
.

Happy Reading

Alta turun dari mobil bersama dengan orang kepercayaan papahnya, orang yang begitu ia benci. Jika buka  karena ingin mengetahui rahasia di balik kematian sang ibunda ia tidak akan sudi ikut.

"Dimana papah, Candra?" Alta terus melangkah memasuki gedung raksasa, tempat bernaungnya perusahaan milik papahnya.

Candra yang sedari tadi mengekori Alta, menunduk segan. "Sedang menunggu anda diruangannya."

Mereka berdua menaiki lift dalam diam. Tidak ada satu pun yang berniat membuka suara untuk memecah keheningan.

Tepat di lantai teratas, Candra berjalan mendahului Alta untuk membukakan anak dari tuannya itu pintu besar dengan ukiran emas.

"Apa kabar?"

Alta tersenyum sinis, rasanya papahnya yang terdengar dingin itu terlalu basa basi dengan dirinya dan ia benci hal itu juga.

"Waktu saya begitu berharga untuk anda buang-buang," sahut Alta tajam. Ia juga merasa gelisah, perasaan yang harusnya mati sejak sang ibunda meninggalkannya sendiri di dunia ini. Tapi sekarang, kembali hadir saat semuanya sudah mulai lenyap. Dan itu semua karena orang yang saat ini sedang menunggunya.

Samuel Alterio, kini menatap sendu putra tunggalnya. "Apa kau masih marah?"

"Saya kesini bukan untuk membicarakan hal itu. Beri tahu saya sekarang juga misteri dibalik kematian mamah saya."

Kepala Samuel rasanya ingin pecah, Alta benar-benar duplikat dirinya. Keras kepala dan tidak pernah mau mendengar.

"Beberapa menit yang lalu semuanya sudah papah bereskan, tidak ada yang perlu kamu lakukan lagi. Istri papah, mamah kamu. Dia sudah tenang. Kematiannya satu tahun yang lalu memang tidak lazim, itu semua karena racun yang dicampurkan dalam minuman mamah kamu."

Tangan Alta terkepal kuat sebisa mungkin menahan amarahnya yang sedang memuncak.

"Dan semua itu karena selingkuhan anda, tuan Alterio yang terhormat. Semoga tuhan selalu menjauhkan wanita ular itu dari saya, karena kapan saya bertemu dengannya," desis Alta begitu tajam. Setiap kali mengingat mamahnya meninggal ia begitu membenci Samuel, hingga rasanya ia begitu menyesal karena menjadi putranya, "Detik itu juga dia akan mati di tangan saya."

Setelah mengatakannya, Alta melenggang pergi tapi terhenti saat Samuel melontarkan sesuatu yang selalu ia rindukan.

"Papah sayang kamu, Alta. Seandainya bisa papah memutar waktu agar memperbaiki kesalahan papah di masa lalu."

Tanpa mau mendengar lebih lanjut lagi Alta menutup pintu sekuat tenaga. Ada kalanya ia tidak mengerti dengan perasaanya.

Melangkah dengan menggebu-gebu. Ia ingin cepat bertemu dengan Rara. Memeluk gadis iru seerat mungkin melampiaskan kesedihannya yang sudah tidak bisa ia tahan.

Saat Alta ingin menyebrang jalan, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya.

"Masuk!" Alta mengerutkan kening merasa asing.

"Entar lagi malam, lo mau buat Rara nunggu lebih lama?" Regan mengangkat sebelah alisnya masih bersikap tenang di balik kemudi.


******


Don't First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang