36. Titik temu

228 24 3
                                    

"I feel tired tonight,
A word that you can't forget in a breeze,
Sorry, for not turning back
Sorry, for selfish self of mine"
Sorry - The Rose

Jisoo bangun lebih awal untuk membantu neneknya memasak. Namun, nenek malah menyuruh Jisoo untuk tetap duduk karena tidak tega dengan kondisi Jisoo. Akhirnya, Jisoo hanya bisa memandangi punggung neneknya dari meja makan.

Jisoo melipat kedua tangan di atas meja makan. Menenggelamkan wajahnya di sana. Jisoo menghela napas panjang, Ia pergi sejauh ini untuk menjernihkan pikiran. Ia ingin membuat keputusan yang tepat. Jisoo merasa keputusannya untuk mempertahankan perjodohan ini mungkin hanya keputusan sesaat yang terlalu tergesa-gesa.

Kali ini Jisoo ingin berpikir lebih jernih dan lebih tenang. Tanpa Jinyoung. Hanya dirinya. Tapi, sial. Jinyoung malah ikut bersamanya. Padahal mendapatkan izin untuk pergi sejauh ini tidak mudah.

Jisoo mengingat kembali hari itu, hari dimana Ia menemui orang tua Jinyoung dan orang tuanya satu-persatu. Mereka terlihat sangat terkejut, wajah mereka pucat, apalagi orang tuanya. Jisoo meringis begitu mengingat raut wajah itu.

Jisoo berbohong pada mereka, bahwa Ia tidak sengaja menginjak pecahan kaca saat pergi liburan. Memalukan memang. Ceroboh. Tapi, mau bagaimana? Toh semuanya sudah terjadi. Akhirnya, mereka hanya bisa menerima dan dengan mudah memahami permintaan Jisoo untuk menunda pernikahan.

"Sayang, bangunin suamimu. Makanannya sudah siap" ucap nenek mengusap punggung Jisoo lembut.

Jisoo mengangkat wajahnya. Kini makanan sudah tersusun rapih di atas meja makan, kakeknya pun sudah duduk di seberang Jisoo menyesap kopinya sambil membaca koran.

Jisoo mendengus kesal, sudah dua kali Neneknya mengatakan itu, padahal Jisoo sendiri belum yakin. "Calon, Nek. Calon" batin Jisoo, kemudian bangkit dari duduknya menuju kamar Jinyoung.

Jisoo mengetuk pintu kamar Jinyoung. Namun, tidak ada jawaban.

"Jinyoung-ssi?"
Tidak ada jawaban.

"Jinyoung, sarapan sudah siap"
Masih tidak ada jawaban.

Jisoo menyentuh kenop pintu yang ternyata tidak terkunci. Pintu itu terbuka, memperlihatkan Jinyoungnya yang masih terlelap dengan selimut yang sudah tergeletak di lantai dan pakaian yang terangkat memperlihatkan otot perutnya. Jantung Jisoo berdetak lebih cepat.

"Jinyoung bangun!" ucap Jisoo dengan suara yang lebih lantang.

Jisoo mengulurkan lengannya, menyentuh bahu Jinyoung dan menggoyangkan tubuhnya.
"Ayoo bangun"

"Jinyoungggggg" ucap Jisoo yang kini sudah malas.

Untuk sepersekian detik, Jinyoung menarik lengan Jisoo. Membiarkan Jisoo terbaring di atasnya. Jisoo tersentak, jantungnya berdetak lebih cepat. Rasa hangat mulai menjalar ditubuhnya. Jinyoung mengunci Jisoo dengan mengeratkan lengannya dipinggang Jisoo.

Inilah alasan Jisoo pergi. Jinyoung selalu meruntuhkan pertahanannya dan selalu membuat jantungnya kacau hingga Jisoo tidak bisa berpikir jernih.

"Kangen" bisik Jinyoung tepat ditelinga Jisoo.

Kangen? Deg. Hati Jisoo menghangat.

Darah dalam tubuh Jisoo mengalir lebih cepat begitu Jinyoung menjilat daun telinga Jisoo.

"Mmmph"
Jisoo menggigit bibir bawahnya, menutup bibirnya rapat-rapat.

"Lihat Aku" ucap Jinyoung yang kini menggigit daun telinga Jisoo.

Sial. Sial. Napas Jisoo tidak lagi teratur. Tidak. Tidak bisa menatapnya. Jisoo tidak ingin melihat tatapan itu. Tatapan di kereta saat itu sungguh menyakitkan. Jisoo melihatnya. Melihat bahwa Jinyoung terluka. Atau lebih tepatnya mereka sama-sama terluka.

Under The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang