8 tahun lalu,,
Lyra baru saja menyelesaikan Ujian Nasionalnya di SMP swasta San Raffles saat tangannya sedang sibuk membuat ukiran di permukaan kayu sembari menikmati semilir dari angin pantai.
Selepas ujian dan merayakan kelulusannya, Lyra bersama beberapa teman sekelas memutuskan untuk berlibur ke Lombok. Gadis remaja itu hanya iya-iya saja saat diajak berlibur ke kawasan Indonesia tengah. Daripada ke Eropa atau ke Korea seperti sebagian teman sekelasnya yang lain, kali ini Lyra memilih yang dekat saja.
Apalagi di Lombok, banyak sekali wisata alamnya dan sudah ditebak bahwa sebagian teman rombongannya adalah pecinta alam, atau yang semacam itulah, dan menganggap menikmati siang hari di sekitar pantai sembari menikmati kelapa muda yang baru dipetik dari pohon adalah sesuatu yang menyenangkan.
Tapi Lyra tidak suka berpanas-panas di bawah terika matahari sepanas Lombok. Kulitnya serasa terbakar dan akan memerah.
Jadi siang ini ia memilih berada di villa saja dengan 3 anak perempuan lain yang sedang memakai masker didalam. Lyra duduk di tepi kolam, fokus mengukir dengan alat seadanya.
Seharusnya ukiran itu selesai bulan lalu, tapi kemarin Lyra disibukkan dengan kegiatan belajarnya yang non-stop demi ujian. Lagipula, ia harus mengejar ketertinggalannya di kelas Fisika dan Bahasa Jerman agar bisa lanjut di SMA San Raffles.
Butuh 2 hari bagi Lyra untuk menyelesaikan ukiran kayu itu dengan tangannya yang jauh dari kata terampil.
Tapi tidak apa, ia puas dengan hasilnya.
Selama di perjalanan pulang menuju Jakarta, Lyra tidak bisa berhenti memandangi ukiran kayu itu. Entah apa yang ia pikirkan, tapi ia memutuskan membuat sebuah hadiah ulang tahun dari kayu yang ia ukir dengan tangannya sendiri.
Lyra membayangkan wajah itu saat menerima hadiahnya. Mengingat ekspresinya yang tidak banyak, wajah itu pasti akan lempeng-lempeng saja saat menerima hadiahnya nanti. Apalagi kalau sudah melihat bentuknya yang tidak mulus.
Namun 2 jam kemudian ketika Lyra tiba di rumah, gadis itu malah terdiam di depan pintu kamarnya.
Sebuah paspor dan visa milik gadis itu berada di kasurnya, juga sebuah surat keterangan bahwa ia telah diterima di salah satu high school di Sydney.
Lyra belum juga mencerna situasinya, belum juga bertanya banyak hal, saat suara Papa menginterupsi pandangannya. "Besok kamu akan berangkat ke Australi dan lanjut sekolah disana."
Tegas dan tidak bisa dibantah.
--
"AKU TIDAK MAU SEKOLAH DI AUSTRALI! AKU MAU SEKOLAH DISINI!"
Alfaro Abraham menghentikan langkah ketika ia memasuki foyer rumah besar itu dan langsung mendengar suara marah diiringi bantingan pintu. Suara itu berasal dari lantai atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SH
FanfictionTentang bagaimana bertahan bersama luka Tidak peduli berapa lama pun waktu berusaha mengikis semua memori itu, Faro tidak akan pernah lupa. Cinta,, selalu tentang sebuah perjalanan pulang. Bagaimana 2 jiwa yang tadinya terpisah, berusaha mencari jal...