7 tahun lalu,,
"Yang ini bagus tidak?"
Faro menatap 2 pasang cincin berlian yang baru dikeluarkan dari etalase.
Luna menimang cincin yang pertama. "Berliannya bagus. Bagaimana menurutmu?"
"Pilih saja yang kamu suka."
"Kamu suka yang mana?" Luna menoleh ke arah lelaki yang duduk di sebelahnya, sedari tadi tidak mengeluarkan pendapat apapun soal cincin pernikahan yang akan mereka pilih.
Faro menghela napas pendek. "Aku suka yang kedua."
Hening.
Lelaki pendiam itu lantas melirik Luna yang menimang 2 pasang cincin di atas meja kaca. Store maid menunggu mereka dengan gestur profesional.
Luna akhirnya tersenyum. "Kami ambil yang kedua, ukurannya juga sudah sesuai." Wanita itu kemudian mengalihkan atensinya pada Faro yang masih duduk di tempatnya dengan tenang. "Bagaimana pekerjaanmu di kantor?"
"Tidak ada masalah. Aku sudah mengosongkan jadwal untuk siang ini."
Luna mengangguk pelan. Baiklah, lelaki di sebelahnya ini memang pendiam dan tidak banyak berekspresi. Entah bagaimana ia bisa mencintainya.
"Setelah ini kita kemana?"
"Fitting baju pengantin. Atau kamu mau makan siang dulu?"
Yang dibalas Faro dengan sebuah gelengan singkat. "Aku akan makan siang di kantor."
Singkat, padat, dan jelas.
Kalau bukan karena mereka sudah bersama sejak kecil, Luna mungkin tidak akan pernah tau bagaimana hidup lelaki itu. Bahkan baru-baru ini Luna baru tau kalau Faro selalu membawa kemanapun sebuah burung kecil dari kayu berukir yang diberi gantungan tali agar tidak perlu melubangi kayu itu. Entah sejak kapan Faro memiliki benda kecil itu. Bahkan bagi Luna ukirannya cukup kasar, dan aneh sekali kalau Faro sampai mau membelinya.
Faro tak pernah memberi taunya itu burung apa, tapi bentuknya seperti burung gereja. Mungkin itu memang burung gereja.
Selepas memilih cincin, mereka segera ke butik milik Mama Luna. Disana sudah menunggu calon mertua Faro dan seorang desainer ternama yang baru kembali dari Singapura. Bella Wang, teman kuliah Luna di NUS dan Faro pernah bertemu dengannya sekali di salah satu acara perayaan kantor.
"Selagi Luna fitting, kamu bisa melihat-lihat tuksedo yang baru datang, Faro."
"Baik, Mam."
--
Shangri-La Hall, Jakarta, waktu setempat,,
Siapa konglomerat yang tidak kenal Calvin Winata?
Lelaki berdarah British-Bugis itu adalah generasi kedua sebuah imperium bisnis yang dikabarkan memiliki saham cukup besar di perusahaan batu bara. Bisnis ekspor-impornya mencakup daratan Asia dan sampai Eropa-Amerika.
Melihat perkembangan beberapa tahun terakhir, Calvin Winata merambah imperium bisnisnya di bidang properti sesuai arahan salah satu penasihat bisnisnya, Alfaro Abraham, yang baru menuntaskan gelar profesornya di Singapore tempat Luna kuliah sembari meneruskan karirnya di Winata Holding.
Banyak media mengungkapkan betapa beruntungnya Alfaro Abraham, bahkan sejak lelaki itu masih bocah dan diangat dari panti asuhan setelah memenangkan olimpiade catur di Malaysia. Lelaki itu cerdas, tampan seperti blasteran surga -begitulah netizen menyebutnya, karirnya cemerlang, dan sekarang lelaki itu resmi menjadi anggota keluarga Winata dengan menikahi putri sulungnya. Bukan lagi sebagai anak asuh, seperti beberapa orang lain yang kini bekerja di setiap cabang bisnisnya.
Lelaki itu dibanjiri keberuntungan seolah tanpa henti.
Banyak yang iri, tapi sebagai tamu undangan, mereka cukup tahu diri untuk menjaga sikap.
Hampir tidak ada celaan yang mengatakan Faro sengaja menggunakan pesonanya untuk bisa masuk dalam keluarga konglomerat itu. Toh lelaki itu meniti karir cemerlangnya secara mandiri dengan bantuan otak cerdasnya itu. Dan lagi, Faro dikenal dengan ekspresi datarnya. Tidak ada pula jejak lelaki itu pernah dicap buruk.
Intinya, Faro bersih. Hidupnya sempurna.
Dan lelaki itu sedang berdiri di bangku pengantinnya yang disulap layaknya bangku bangsawan.
Pesta pernikahan mewah itu mengusung tema Bugis-British dengan nuansa silver dan biru navy.
Megah sekali.
Tapi tetap saja, semua itu tidak membuat ekspresi di wajah Faro menampilkan lebih banyak rona ceria. Pengantin pria itu tetap tanpa ekspresi, menatap sekitar seolah sedang mengabsen satu persatu tamu yang datang.
"Faro?"
"Ya?" Lelaki itu menoleh, mengerjap menatap Luna yang sekarang resmi jadi istrinya. Marvel bilang, ia harus bersyukur karena bisa menikahi perempuan seperti Luna. Wanita itu multitalenta.
"Apa kamu lelah?"
Lazimnya pertanyaan itu dilontarkan pihak lelaki, tapi jangan harap Faro akan mengatakannya. Lelaki itu terlalu pendiam. "Tidak, pestanya bahkan baru dimulai."
"Kamu benar. Sebaiknya kita bersenang-senang." Luna tersenyum cerah, wanita itu berdiri lebih dulu dan mengulurkan tangannya untuk Faro. "Lantai dansa tidak akan berkesan kalau pengantinnya tidak berdansa."
--
Bahkan sampai pesta selesai dan pengantin akan bergegas pergi menuju bride suites di hotel Shangri-La, Faro masih tetap pada ekspresi datarnya. Lelaki itu akan tersenyum sopan untuk tamu undangannya, atau untuk sesi foto. Selebihnya, tetap pada ekspresi sebenarnya.
Sekali lagi lelaki itu mengedarkan pandangan ke penjuru seolah sedang mengabsen lagi seluruh tamu undangan.
"Kita pergi sekarang." Luna menggandeng lengan Faro yang sudah resmi menjadi suaminya, lantas mereka melenggang keluar dari aula di atas siraman kelopak mawar segar yang aromanya halus memenuhi penciuman.
Bahkan di pintu aula, Faro kembali menoleh untuk terakhir kalinya. Lantas berujar pelan sebelum memasuki lift.
"Foto keluarga kita kurang lengkap, Lyra tidak ada."
Luna mengangguk. "Entahlah, Grandma bilang Lyra sedang sibuk-sibuknya belajar dan tidak bisa pulang," jelasnya lembut. "Lagipula, Lyra sendiri yang bilang kalau fotonya bisa diedit agar ada di foto keluarga."
Kening Faro berkerut saat lift sudah tiba di lantai paling atas, pintunya berdenting terbuka. Mereka langsung menuju kamar pengantin yang sudah disediakan, pintunya berada di ujung. "Lyra yang bilang begitu?"
"Eheum." Mereka memasuki kamar bernuansa pengantin itu setelah Luna membukanya, wanita itu tersenyum lembut lantas melingkarkan lengannya di bahu lebar Faro. "Malam pertama pengantin seharusnya diisi dengan percakapan romantis."
Faro menatap lekat wajah Luna. Wanita itu istrinya.
Perlahan Luna berjinjit, kepalanya sedikit miring untuk memagut Faro saat lelaki itu memiringkan wajah sehingga hanya kening mereka yang bersentuhan. "Sebaiknya malam ini kita istirahat."
--
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SH
FanfictionTentang bagaimana bertahan bersama luka Tidak peduli berapa lama pun waktu berusaha mengikis semua memori itu, Faro tidak akan pernah lupa. Cinta,, selalu tentang sebuah perjalanan pulang. Bagaimana 2 jiwa yang tadinya terpisah, berusaha mencari jal...