"Bagaimana kalau kita kawin lari saja?"
"Hah?" Faro melongo menatap wajah sembab Lyra. Gadis itu masih berurai air mata dalam pelukan Faro, mengurai pelukan mereka dan langsung mengutarakan ide absurdnya.
"Papa tidak akan merestui."
"Kakak tidak pernah membayangkan membawa anak gadis orang untuk kawin lari." Faro meringis, di tengah perasaan gamangnya, entah kenapa ide Lyra malah terasa lucu. Meski kawin lari adalah opsi terakhir dalam hidupnya untuk menikahi Lyra. "Papa hanya tidak menyangka bahwa kita datang secepat ini."
"Lalu bagaimana?"
"Apanya yang bagaimana? Kamu mau kita kawin lari?"
"Kakak mau membawaku kawin lari?"
Ah, mereka jadi bicara mutar-mutar. Faro menggeleng tegas. "Tidak."
Wajah Lyra langsung cemberut. "Lalu bagaimana? Papa jahat sekali. Bisa-bisanya menghina anak sendiri."
"Tidak begitu, Love." Faro kembali mendekap Lyra dengan tenang. Mungkin lelaki itu bakalan kalang kabut kalau Lyra malah diam saja. Setidaknya, dengan blak-blakan seperti ini, Faro masih mengetahui isi benak gadis itu. "Papa sedang mengemukakan kemungkinan paling masuk akal dengan cara yang tidak terlalu menyenangkan."
"Ralat. Sangat-tidak-menyenangkan."
Meski kecewa dengan Calvin, Faro tidak ingin Lyra semakin jauh dari keluarganya. Lelaki itu adalah yatim piatu, tumbuh di panti asuhan dan satu-satunya hal yang ia inginkan adalah memiliki keluarga yang utuh. Ia tidak ingin Lyra terpecah dari keluarganya sendiri. Atau bahkan membenci mereka.
Tapi... bagaimana Faro bisa mempengaruhi hal itu kalau dia sendiri merasa kecewa?
"Lalu kita harus bagaimana?"
"Selangkah demi selangkah, Love. Setidaknya jangan berkonfrontasi untuk melembutkan hati Papa."
"Papa sendiri yang memulai konfrontasi. Tau begitu aku tidak pulang ke rumah." Lyra masih bersungut-sungut sampai Faro harus memeluknya lagi agar gadis itu berhenti merengut. "
"Secinta itu dengan kakak ya, sampai kamu harus bersungut-sungut begini."
"Iya, memang." Lengan Lyra melingkari pinggang Faro, malu. Mereka sedang berada di sekitar Ancol, Faro memarkir mobil di sisi yang tenang sehingga lelaki itu bisa memeluk Lyra sembari mengobrol.
Bagusnya, obrolan absurd mereka membuat Lyra merasa lebih baik. Sikap tenang Faro membuat Lyra percaya bahwa semua akan baik-baik saja.
"Kakak, semua akan baik-baik saja kan?" Lyra mendongak dalam pelukannya, menatap Faro seolah ia hanya memiliki lelaki itu sekarang.
Demi melihat wajah itu, Faro mengangguk, mengeratkan pelukannya dan mengecup lembut puncak kepala Lyra. "Ya."
Meski kadang Faro tidak yakin. Betulkah semua akan baik-baik saja?
Lalu kalau ternyata semua tidak baik-baik saja, apa yang akan mereka lakukan? Tidak, tapi apa yang akan Faro lakukan?
Lelaki itu teringat kembali ucapan terakhirnya untuk Calvin Winata. Haruskah ia membawa Lyra pergi bersamanya jika semua tidak baik-baik saja? Pergi ke tempat dimana orang lain akan membiarkan mereka bahagia?
Apakah dengan membawa Lyra pergi ia bisa membuat gadis kecilnya bahagia?
--
Lyra sudah harus kembali ke Hongkong malamnya, berpisah dengan Faro di bandara.
Baru berjalan 2 langkah, Faro sudah memeluk Lyra lagi, berat berpisah setelah semua yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SH
FanfictionTentang bagaimana bertahan bersama luka Tidak peduli berapa lama pun waktu berusaha mengikis semua memori itu, Faro tidak akan pernah lupa. Cinta,, selalu tentang sebuah perjalanan pulang. Bagaimana 2 jiwa yang tadinya terpisah, berusaha mencari jal...