30 - All of Me

1.5K 238 90
                                    

Milan, waktu setempat,,

Ponsel Faro berdering, telepon lagi dari Adrian.

"Aku baru saja mendapat videonya di Youtube, kamu-"

"Aku juga sudah melihatnya, Adrian." Faro menyahut pelan, ini sudah malam setelah di sisa hari Faro mencari ke semua tempat yang diketahuinya di Milan, mencari Lyra yang tiba-tiba pergi seperti saat 3 tahun lalu.

Ia membenci dirinya sendiri yang tidak bisa melakukan apa-apa dari awal dan hanya berakhir kekacauan pada akhirnya.

Di seberang sana Adrian menghela napas. "Ini,, aku tidak habis pikir Luna akan sejauh ini."

Faro juga tidak menyangka. Istrinya yang tenang dan dingin itu,, "Cari Lyra, Adrian."

"Sudah, kawan. Aku berusaha mencari gadis kecilmu itu. Tapi Lyra sepertinya sudah tau bahwa ia terlacak. Jadi ia menghapus identitasnya."

"Tidak mungkin."

"Sangat mungkin, Faro. Dia mendapat dukungan penuh dari si anak Perdana Menteri itu. Mudah saja memalsukan identitasnya di skala pemerintahan sekalipun."

"Jadi sekarang tidak ada jejaknya?"

"Aku masih mencarinya."

Faro menutup telepon itu dengan ucapan terima kasih singkat, menjabak rambutnya dengan frustasi. Video itu terus terngiang di benaknya.

Apa kabar gadis kecilnya sekarang?

Bagaimana Lyra melalui hari itu?

Lyra bahkan tidak menangis, entah hatinya.

--

Jakarta, waktu setempat,,

"Ini sudah 8 tahun Lyra belum pulang." Michelle mengoles selai pada roti panggangnya, berujar pendek tanpa menatap Marvel di hadapannya.

"Eheum." Marvel mengangguk, memotong roti tawarnya. Restoran di Shangri-La Hotel itu tidak terlalu ramai, mereka bisa sarapan dengan tenang disana.

"Biasanya anggota keluarga yang kuliah di luar negeri akan pulang setidaknya setahun sekali. Tapi Lyra bahkan 8 tahun ini tidak pulang."

"Mungkin dia betah disana?"

Michelle mengernyit. "Mungkin. Atau mungkin ada sesuatu?"

Marvel menertawakan pemikiran sepupunya itu. "Sesuatu apa? Ia jatuh cinta dengan lelaki disana lantas mereka hidup bahagia bersama? Happily ever after sampai tidak mau pulang?"

Michelle melemparinya gumpalan tisu, mendadak kesal. "Lyra bahkan tidak menelepon kita semua."

Marvel menyesap espressonya dengan tenang, menatap Michelle dari balik cangkirnya. Bagi lelaki itu, sesuatu memang terjadi. Tentang Luna yang tidak mendapat cinta sebesar Faro untuk Lyra. Bagi Faro yang sering ke Eropa akhir-akhir ini. Tentang Lyra yang tidak lagi pulang ke rumah. "Tumben kamu mempertanyakan Lyra."

"Lyra juga sepupumu bukan sih?!"

Marvel tertawa pada Michelle yang menghentak kesal. "Lyra bahkan sepupu kesayanganku sejak kecil. Ingat siapa yang sering menjawili pipinya sampai menangis."

"Definisi kesayangan yang kejam."

"Aku hanya gemas. Si kecil itu cerewet sekali, dan selalu tertawa. Wajar kalau aku ingin melihatnya menangis." Marvel terkekeh pelan, mengusap dahinya, memastikan rambutnya tidak terlalu berantakan Minggu pagi itu.

Selain Faro, Marvel memang cukup sering membuat Lyra menangis karena pipinya dijawil sampai merah. Kalau sudah begitu, biasanya Marvel harus berhadapan dengan Faro yang jadi nomor satu untuk menghentikan tangis Lyra. Ingat itu, Marvel jadi bertanya-tanya. Apakah perasaan sepupu iparnya sudah selama itu?

Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang