39 - Does Fairy Tale Exist?

1.3K 211 25
                                    

Hongkong, waktu setempat,,

Sekarang, Faro punya banyak waktu bersama Lyra tanpa perlu terikat dengan pekerjaannya lagi di Jakarta.

Setiap pagi mereka membuat sarapan bersama, mencuci piring bersama. Lantas saat Lyra pergi ke kantornya, Faro akan di flat sepanjang hari sembari mengawasi perkembangan restorannya dengan lebih intens. Juga beberapa hal lain yang masih memerlukan pengawasannya. Kalau sedang bosan, Faro akan jalan-jalan keluar dengan sepeda kayuh milik Lyra di basemen dan malamnya ia akan menjemput Lyra di kantor gadis itu. Menunggu Lyra keluar sembari duduk di sepeda. Lantas mereka akan pulang dengan Lyra duduk di boncengan belakang.

Faro merasakan betapa hidup menjadi lebih indah oleh hal-hal sederhana.

Menikmati padatnya kota Hongkong sambil membonceng Lyra di belakang, mengayuh sepeda diiringi sorakan Lyra yang lengannya melingkar di pinggang lelaki itu, mengingatkan Faro pada masa kecil mereka. Dulu waktu usianya 18 tahun, ia juga pernah membonceng Lyra. Si kecil yang masih berusia 6 tahun itu bersorak heboh seolah mereka sedang lomba sepeda, menepuk punggung Faro keras-keras seperti sedang dikejar anjing.

Mereka selalu seperti itu. Menjadikan banyak hal bisa dirayakan bersama.

Kali ini, Lyra juga menepuk punggungnya, tapi dengan lebih manusiawi. "Kakak, aku mau es krim."

"Yang mana?" Karena ada banyak penjual es krim di sekitar taman kota itu

"Di depan sana, yang truknya warna merah."

Faro mengayuh sepedanya kesana dengan santai. Tidak lebih dari seminggu sejak ia tiba di Hongkong, Faro merasa lebih bebas. Selama ini ia selalu menjalani ritme hidup di yang keras dan cepat.

Tapi sekarang, ia menikmato ritme baru dalam hidupnya. Ritme yang lebih sederhana dengan menikmati hal-hal yang mungkin sering ia abaikan selama ini. Seraya membonceng Lyra, menikmati semilir angin malam yang kadang bercampur aroma knalpot, aroma masakan dari kedai-kedai yang mereka lalu, orang mengumpat, orang tertawa, orang bercengkerama.

Faro bahkan seperti bisa menikmati semua itu dalam mode lambat.

Padahal dulunya ia menatap semua ritme kehidupan bukan sebagai sesuatu yang penting.

Begitu mereka tiba di truk es krim warna merah, Lyra turun dari boncengan, langsung antre untuk membeli es krim sementara Faro menuntun sepedanya menuju bangku taman yang kosong. Meski sudah malam, taman itu tetap ramai oleh orang-orang yang menggunakan fasilitas olahraga umum.

"Es krim vanila untuk kakak dan es krim cokelat untukku." Lyra duduk di sebelahnya, menyodorkan 1 cup es krim vanila untuk Faro.

"Kakak ingin membicarakan sesuatu, tapi tidak yakin apakah disini tempat yang tepat untuk membicarakannya."

"Tentang apa?"

"Rencana pernikahan kita."

"Kita bahkan bisa membicarakannya sembari bersepeda pulang, atau sambil menggosok gigi bersama sebelum tidur."

Faro tertawa, menyuap es krimnya. Punggungnya bersandar di kursi sementara sepedanya di sebelah, seperti saksi bisu untuk waktu yang mereka nikmati bersama. "Kamu ingin kita menikah tanggal berapa?"

"Pertengahan musim panas di Australi."

"Astaga? Itu masih 5 bulan lagi! Terlalu lama."

"Kakak maunya kapan?"

"Bulan depan."

Lyra terkekeh. "Ngebet sekali."

"Lalu mau menunggu apalagi? Karena pestanya sederhana di halaman belakang rumah grandma, persiapannya tidak akan lama."

Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang