42 - Neverland

1.4K 215 31
                                    

"Kakak yakin Mama ingin sekali datang."

"Lalu kenapa Mama tidak datang? Apa Papa juga tidak mengijinkan Mama datang?" Lyra merengut, mengusap kasar pipinya yang sudah bersih dari riasan make up.

"Kita sama-sama tau sekeras apa hati Papa, Love."

"Tapi, kakak,,"

"Hmm?" Faro mengusap lembut punggung Lyra, sementara tangannya yang lain memeluknya erat. Dan ketika Lyra menggeleng dengan pandangan kosong, Faro mengecup keningnya. Aroma mawar tercium samar dari wajah istrinya itu. "Hari ini juga pasti berat untuk kamu, Love."

Lyra mengangguk dengan wajah menyuruk di bahu lebar Faro, bahu milik seseorang yang selalu ada untuknya dan membuatnya nyaman.

"Tapi Mama dan Papa hanya sedang butuh waktu, tanpa pernah bermaksud mengabaikan putri bungsu mereka yang kuat ini."

Faro sendiri lelah, tapi kalau ia bisa membuat istrinya lebih tenang, maka lelahnya juga akan berkurang. Orang-orang bilang, istri adalah pusatnya rumah. Rumah tangga yang bahagia berasal dari istri yang bahagia. Faro tidak ingin Lyra murung berkepanjangan.

"It's okay, Love. Kamu tidak perlu menghadapi ini sendiri. Dan kakak tau kamu kuat."

Mungkin Faro benar kalau orang tuanya hanya butuh waktu untuk menerima pernikahan yang tidak mereka bayangkan akan terjadi. Mungkin,, pernikahan mereka juga membuat orang tuanya bingung.

"Kamu lelah sekali hari ini." Faro menyeka keringat di kening Lyra. "Dan kamu belum mandi. Mau mandi sendiri atau kakak mandikan sekalian mandi bersama?"

Hal yang membuat tangis Lyra akhirnya berhenti, diganti dengan pukulan di dada Faro yang terasa seperti pukulan manja. Lelaki itu terkekeh ringan, mengusap air mata di pipi Lyra dengan lembut.

"Jadi istri kakak ini mau kakak mandikan?"

"Mandi sendiri," sahut Lyra, memalingkan wajahnya yang merona, beranjak menuju kamar mandi dengan gaunnya yang baru kali ini terasa berat. Mungkin karena ia juga kelelahan seharian ini.

Di kamar mandi, gadis itu mencelos. Jantungnya serasa jatuh ke perut saat Faro membuka pintu kamar mandi. "Kakak,, m-mau apa?"

Lelaki itu nyengir menatap Lyra yang tampak kesulitan membuka gaunnya sendiri. "Kakak khawatir membiarkan kamu mandi sendirian dengan mata sembab itu."

"Aku,, b-baik-baik saja."

"Dan lagi,," Faro memasuki kamar mandi, menutup pintu tanpa melepaskan pandangannya dari Lyra. ",, kakak juga belum mandi."

"Kan bisa,, bergantian- kakak jangan mendekat!" Lyra memekik gugup saat Faro melangkah semakin dekat, menghampirinya sembari melepas tuksedonya.

"Kenapa? Kakak ingin segera mandi biar bisa istirahat," sahut Faro, menaruh tuksedonya sembarangan, lantas membuka dasi kupu-kupunya yang ia biarkan tergeletak di lantai, lalu membuka kemejanya juga. Dengan pandangan intens yang tidak lepas dari Lyra, juga dengan kedipan mata pelan seolah sedang mengusilinya, Faro malah membuat Lyra merasa seperti domba yang tersudut. "Dan sepertinya,, kamu kesulitan melepas gaun itu, hmm? Kakak dengan senang hati membantumu melepaskannya."

Lyra semakin menciut saat Faro melepas kemejanya dengan gerakan yang membuat gadis itu panas dingin. Matanya membulat tanpa kedip, menyadari lelaki itu justru tampak lebih tegap dan gagah tanpa kemeja.

Sekarang Faro hanya sejengkal di depannya, aroma parfum bercampur keringat lelaki itu entah kenapa terasa menyenangkan. "Tidak apa-apa kalau kamu masih gugup dengan malam pertama ini. Kita hanya akan mandi, lalu tidur."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang