19 - Am I Right?

1.3K 212 39
                                    

Milan, waktu setempat,,

Lyra baru saja selesai dengan jam kerja paruh waktunya hari ini. Tadi ia dibuat kewalahan saat membimbing segerombol siswa elementary school yang antusias berada di museum dan banyak mengajukan pertanyaan. Mereka hebat. Meski akhirnya kelelahan, Lyra senang.

Gadis itu mengganti seragam formalnya dengan rok selutut dan blouse katun, mengikat asal rambutnya dan meraih tas selempangnya di loker lantas keluar lewat pintu belakang.

Gadis itu mengganti seragam formalnya dengan rok selutut dan blouse katun, mengikat asal rambutnya dan meraih tas selempangnya di loker lantas keluar lewat pintu belakang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vincent van Barend sudah menunggunya dengan gestur santai, menghampiri gadis itu dengan senyum lebar. Pemuda itu menunduk sedikit untuk menghapus keringat di hidung Lyra. "Ck! Ini musim gugur dan kamu bahkan masih berkeringat?!"

"Aku mengelilingi museum dengan berjalan kaki dan bukannya skateboard elektrik," sahut Lyra acuh seraya menyeberang jalan dengan Vincent mengikuti di belakang.

"Benar juga. Kamu bisa menggunakan skateboard elektrik untuk bekerja kalau mau."

"Bukan aku yang mau, tapi maumu."

Vincent terkekeh pelan, mengangguk mengiyakan. "Aku bisa dengan mudah mengurusnya untukmu."

Lyra berdecak. "Apa gunanya aku jauh dari rumah kalau kamu bahkan bersikap lebih parah dari Papaku?"

Vincent van Barend memang kerap kali menggunakan nama besar ayahnya dalam beberapa urusan selama kuliahnya di Milan, membuatnya menjadi mudah sekaligus mengundang kekesalan. Sekali waktu Lyra ikut terlibat gara-gara ulah aneh pemuda itu. Makanya kali ini ia menolak usul Vincent tanpa pikir panjang. Daripada keseret masalah lain.

Keduanya berbelok memasuki sebuah gerbang besar dan tiba di depan salah satu restoran kecil langganan mereka. Lyra sudah benar-benar lapar sampai rasanya ia bisa melahap Vincent kalau pemuda itu mengoceh lagi.

"Menu yang biasa?"

Lyra mengangguk. "Boleh."

5 menit kemudian pesanan mereka datang. Vincent tidak pernah bosan dengan makanan disana, pemuda itu bahkan bisa menghabiskan makanan Lyra kalau gadis itu dalam tahap malas makan.

"Malam ini aku ada janji dengan yang lain. Mau ikut?" Vincent menghentikan sebentar kunyahannya, mengutarakan isi benaknya selagi ingat. Tapi gadis di hadapannya hanya menggeleng pelan.

"Kapan-kapan saja. Hari ini aku betul-betul lelah sekali. Dan sejak tadi pagi Profesor Lorenz menerorku."

Vincent memiringkan kepalanya. "Sepertinya ini sudah dekat dengan jadwal datang bulanmu kan?"

"Eheum."

"Lalu bagaimana tugas akhirmu?"

"Sedikit lagi selesai, taulah aku memulai lebih awal dari yang lain. Dan tau-tau saja aku merasa lengah dan santai."

"Pantas saja Profesor Lorenz menerormu." Vincent meneguk sodanya, lalu melanjutkan dengan nadanya yang seperti biasa. "Apa ada kesulitan dengan tugas papermu? Aku bisa menghubungkanmu dengan kolega Ayah disini."

Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang