20 - Between of Everything

1.4K 229 42
                                    

Jakarta, waktu setempat,,

"Winata Construction akan melakukan invasi lahan di Kalimantan untuk digarap sebagai areal perumahan prestisius seluas 1 hektar." Faro mengulang penjelasan Giordano Pasifik yang sedang presentasi di depan sana, dagunya bersandar di kedua tangannya yang saling menangkup. "1 hektar untuk sebuah perumahan sangatlah kecil. Apalagi ini Kalimantan sementara kita punya puluhan hektar disana."

"Anda betul, sir. Disana kita akan membangun beberapa kawasan prestisius. Selain itu kita juga akan membangun kawasan kelas menengah yang lebih luas. Dengan begitu, kita tidak hanya membuat di atas lahan 1 hektar saja."

"Ini tampak tidak terlalu efektif. Kenapa beberapa kawasan prestisius dan bukannya satu saja? Kenapa harus ada perbedaan antara kawasan prestisius dan kelas menengah? Kita tau betul kondisi perekonomian disana. Dan bukankah lebih efektif kalau membangun apartemen alih-alih perumahan?"

Gio mengangguk, mengingat setiap detail pertanyaan bosnya yang selalu tampak mengintimidasi saat rapat. Dengan begitu, akan jelas apakah presentasi yang dilakukan sudah matang atau belum perencanaannya. "Bukan hal yang asing lagi kalau sebenarnya masyarakat kelas atas cenderung menyukai perbedaan kelas untuk memberikan jarak. Mereka menyukai kehidupan yang lebih tenang dan eksklusif. Dan untuk kawasan prestisius yang terpecah menjadi beberapa kompleks karena tren pengusaha senior sekarang yang lebih suka menghabiskan masa tua dengan membeli beberapa rumah sekaligus agar bisa ditempati untuk keluarga besar mereka, berkumpul. Maka kita manfaatkan itu. Sementara untuk kelas menengah, sudah tergantung pada prospek umum. Kenapa kompleks perumahan alih-alih apartemen? Kita sedang mengenalkan konsep lingkungan yang ramah sebagai tempat bermain anak-anak. Akan ada banyak keluarga muda yang memilih konsep ini."

"Apa ini berkaitan dengan isu akan dipindahkannya ibukota negara?"

"Pada dasarnya konsep ini bersifat netral. Isu pindah ibukota adalah faktor penunjang."

Faro menegakkan duduknya, bersandar di kursi direkturnya dan menatap lurus ke arah Gio. "Kenapa Kalimantan?"

"Secara domestik, 60% memilih Pulau Kalimantan setelah Pulau Jawa karena kondisi geografis dan iklimnya yang mendekati, setelah itu baru Sumatra."

Kedua siku Faro bersangga di sisi kursinya, jemarinya saling bertautan di bawah dagu. Mata kecilnya menatap lurus ke depan. Lelaki itu mengangguk pelan penuh perhitungan. Sengaja memberi permainan jeda waktu untuk mengetes psikologis anak buahnya, sekuat apa mereka berdiri di depan sana selagi Faro mempertimbangkan. Dan lelaki itu mengangguk tegas. "Serahkan rincian proposal anggaran, teknis pelaksanaan, prediksi waktu, semuanya. Seminggu dari sekarang."

Terdengar helaan napas tertahan disana. Faro bangkit dari kursinya, keluar dari ruangan rapat yang sempat mencekam.

Rapat selesai setelah 2 jam Gio menjelaskan dengan kening berkeringat.

--

Di ruangannya, Faro sedang membaca laporan perkembangan pembangunan pusat perbelanjaan di Bandung saat Marvel merangsek masuk. Sepupu iparnya itu nyengir, lantas duduk di hadapan Faro.

"Sedang apa?"

"Membaca laporan."

Marvel menepuk dahi, ya ya. Harusnya ia memang tidak usah berbasa-basi. "Akhir pekan ini luang tidak?"

"Kenapa?"

"Gio mengajakku berselancar di Bali. Mau ikut?"

Faro menggeleng pelan, menaruh pulpennya dan menatap Marvel. "Aku mau ke Marina Bay."

"Ada janji disana?"

"Tidak, aku hanya ingin berenang."

Marvel terperangah di tempatnya duduk, mengerjap. "Orang macam apa yang pergi ke Singapura hanya untuk pergi berenang? Kamu jelas kebanyakan uang sampai tidak tau bagaimana harus menghabiskannya," cecar Marvel. "Kalian itu kebanyakan uang, kamu dan istrimu. Seharusnya kamu menghabiskan uang untuk anak kalian."

Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang