8 - The Star

1.4K 228 27
                                    

Bulan yang ditunggu Luna akhirnya datang.

Wanita itu sudah menyusun jadwal libur untuk Faro dengan mencari tanggal merah beruntun. Tidak seharusnya Faro masih ke kantor saat itu. Dan,, ia juga sudah membeli 2 tiket pesawat ke Bali untuk liburan ini.

Demi mengutarakan maksudnya itu, Luna benar-benar menunggu Faro sampai tengah malam. Kalau terlalu larut, biasanya Luna sudah tidur lebih dulu. Tapi kali ini, ia bahkan memaksakan diri untuk terbangun. Takutnya besok Faro berangkat pagi lagi dan tidak ada waktu bagi Luna untuk mengatakannya.

Suara derum mobil memasuki pekarangan rumah mereka.

Langkah sepatu Faro terdengar dari tempat Luna duduk karena rumah mereka setiap malam memang sangat hening. Dengan tas kerja di tangan kiri, tangan kanan Faro melonggarkan ikatan dasinya. Lelaki itu melangkah ke arah dapur, namun terhenti saat mendapati Luna masih duduk di sofa depan tv. Semua lampu sudah mati, hanya lampu baca yang menerangi siluet Luna disana. Sebuah buku terbuka di pangkuannya.

"Tumben belum tidur?" ujar Faro pelan, meneruskan langkah ke dapur yang diikuti Luna dengan senyum mengembang.

"Aku menunggu kamu pulang." Luna duduk di depan meja bar, menatap Faro yang berdiri di depan kulkas, menenggak air dingin langsung dari botolnya. Jakun lelaki itu bergerak naik-turun, seolah habis berolahraga di malam hari dan haus sekali.

Bahkan cara Faro mengusap sudut bibirnya yang basah dengan punggung tangannya terlihat mengagumkan. Luna selalu jatuh cinta lagi pada lelaki itu dengan cara yang sederhana. "Ada apa?"

"Akhir pekan nanti ada tanggal merah beruntun."

Faro mengangguk sembari menutup pintu kulkas, lantas melepas jasnya. "Dan?"

"Dan aku ingin kita pergi berlibur. Aku sudah membeli 2 tiket ke Bali."

Faro menatap Luna yang antusias menunjukkan 2 tiket di layar ponselnya seolah wanita itu baru menang lotre. "Perusahaan sedang membangun sebuah kompleks apartemen. Ini proyek besar pertama dan aku tidak bisa pergi."

"Hanya 4 hari, tidak bisakah?"

"Kamu tau jawabannya." Faro berbalik untuk meraih tas kerjanya, hendak berlalu ke kamar, sampai suara Luna kembali membuatnya berhenti.

"Kamu harus mau, Faro. Kalau tidak,,"

"Kalau tidak apa?"

Luna terdiam, kehabisan akal. Lelaki itu,, meskipun pendiam, tertutup, dan selalu menerima apa yang ia sediakan untuknya layaknya suami yang menyayangi istri, nyatanya adalah lelaki yang tidak memiliki rasa takut. Faro tidak bisa diancam dengan apapun, tidak akan gentar.

Dan sekarang, lelaki itu tampak enggan berbalik. "Please, come with me."

"You have my reason."

"But we don't have a sex like other couples!" Luna tidak bisa menyalahkan dirinya sendiri saat nada suaranya barusan meninggi, hampir membentak lelaki pendiam di depannya itu. "Kita tidak pernah-"

Faro berbalik, menatap Luna lurus. "Apa kamu menikahiku hanya karena ingin berhubungan badan denganku?"

Luna terdiam, jemarinya saling meremat dengan gelisah. Ia tidak mengenal tatapan dingin lelaki itu. Faro yang menatapnya seolah Luna baru saja melewati batas.

"Aku memegang tanggung jawab penuh atas jalannya Winata Construction. Perusahaan ini masih baru berdiri, dengan megaproyek pertama yang baru kemenangkan, jadi aku harus memastikan segalanya berjalan lancar."

Luna menatap nanar punggung Faro yang kembali melenggang menuju kamar mereka di lantai atas, mengusap sudut matanya. Lebih baik Faro membentaknya, daripada seperti ini. Menatapnya dingin tanpa ekspresi, berujar dengan nada dingin pula yang membuat Luna tidak tau harus berbuat apa.

Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang