13 - The Scar

1.4K 220 44
                                    

Jakarta, waktu setempat,,

Lyra terbangun dari tidurnya karena haus. Ini masih tengah malam, baru jam 11 malam. Infus di tangan kanan gadis itu terasa agak mengganggu pergerakannya sejak ia keracunan makanan tadi pagi.

Makanan kemarin masih banyak, tidak habis jadi Lyra simpan di meja makan, lupa ditaruh kulkas. Pagi tadi gadis itu bangun kelaparan dan langsung menghabiskan 2 porsi sekaligus. Tidak sadar kalau nasinya sudah agak basi. Dan satu jam setelah makan, badannya mulai gemetar, keringat dingin, dan muntah berkali-kali.

Maka disinilah Lyra.

Rencananya ia hanya ingin menghabiskan 2 botol infus saja sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang, setelah itu pulang. Tapi apalah daya, bujukan dokter lebih manjur mempengaruhinya. Jadi untuk malam ini ia jadi pasien saja dulu.

Gadis itu lantas terkesiap saat pintu kamar inapnya dibuka, Faro berdiri di ambang pintu dengan napas terengah. Memangnya habis lari? "Kenapa kakak bisa disini?!"

Faro tidak menggubris gadis itu, melangkah mendekat dan menyentuh keningnya. Suhu tubuhnya normal.

"Aku tidak demam."

Tidak digubris. Faro mengecek infusnya, meraih telapak tangan Lyra untuk memastikan tidak ada gelembung udara di selang infusnya.

"Tidak ada masalah, kakak."

Tidak digubris lagi. Faro menangkup sisi wajah Lyra, menatap lekat wajah pucatnya. "Kenapa bisa keracunan makanan?"

"Aku tidak tau kalau nasi makanan kemarin sudah basi."

Faro berdecak tidak habis pikir, mencubit pipi Lyra dan menggerakkannya ke kanan-kiri. "Lalu kenapa bisa sampai sini?"

"Aku minta tolong sekuriti apartemen untuk mengantar." Lyra mengerjap. "Lalu bagaimana kakak bisa sampai sini? Harusnya kakak di Banjarmasin kan."

"Menurut kamu kenapa?"

Lyra melongo sejenak, berpikir, sementara telapak tangan Faro yang hangat masih di pipinya. "Aku hanya menyebutkan nomor kakak sebagai waliku. Memangnya bakal ditelepon?"

"Pasti." Faro mengusak wajahnya gemas.

"Untungnya aku menyebutkan nomor kakak," gumamnya lega.

Faro menghembuskan napas pelan, napasnya juga sudah stabil dan lelaki itu sudah memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau Lyra akan baik-baik saja. Buktinya gadis itu sekarang sudah mengoceh macam-macam, soal beberapa novel yang dibelinya dengan Amex milik Faro tapi tidak ia bawa ke rumah sakit. Ponsel saja tertinggal, apalagi novel.

"Aku tidak tau harus bersyukur atau tidak karena kakak ada disini."

"Kenapa?" tanya Faro, lelaki itu sedang mengupas jeruk untuk Lyra.

"Kakak sampai harus pulang mendadak gara-gara aku. Tapi kondisiku betulan tidak separah itu sampai kakak harus flight segera. Liburan kakak masih tersisa 2 hari lagi." Lyra menerima bongkahan jeruk yang dibersihkan Faro, menatapnya sebentar dengan kaki terayun di tepi ranjang. "Tapi kalau kakak tidak pulang, bagaimana aku bisa membayar tagihan rumah sakit?"

Faro tersenyum, lelaki itu meraih kursi dan duduk di sebelah Lyra.

"Kak Luna bagaimana waktu tau kakak pulang mendadak?"

"She is okay," angguknya pelan, tidak banyak menjelaskan.

"Aku mau pulang besok, bosan disini."

Faro melirik nampan makan malam Lyra yang masih utuh, plastik wrapnya bahkan belum dilepas sama sekali. "Pulang kalau makan malamnya habis."

Lyra mengerang pelan. "Pahit."

Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang