Now on,,
Bogor, waktu setempat,,
Alfaro David Abraham masih berusia 12 tahun saat ia memenangkan olimpiade catur di Malaysia. Namanya dengan segera masuk headline koran ternama di Jakarta, disebut-sebut sebagai salah satu anak jeniusnya Indonesia. Apalagi dengan kondisinya yang tumbuh sebagai seorang yatim piatu di sebuah panti asuhan di Bogor.
Tidak lama, popularitasnya yang sempat disebut-sebut di koran perlahan redup, digantikan kabar kriminal yang terus meningkat grafiknya dari tahun ke tahun.
Tapi bukan itu masalahnya.
Beberapa bulan setelah namanya betulan tenggelam di antara atlet-atlet besutan klub ternama yang menjadi juara dunia, juga berita kriminal sampai korupsi yang tidak ada habisnya, seorang pria berdarah campuran Kaukasia menghampirinya di panti asuhan.
Calvin Alexander Winata.
Pria itu sudah berwibawa sejak dulu. Faro bahkan enggan menemuinya di ruang tamu kalau tidak ditemani ibu panti. Kata teman-temannya, orang itu menyeramkan. Tapi Calvin tidak seperti itu. Ia adalah seorang yang tegas dan berwibawa dengan sosok tinggi besarnya.
Tidak butuh waktu lama sampai Calvin membawanya ke Jakarta sebagai anak asuh untuk mendapat pendidikan yang sepadan dengan otaknya. Tidak ada yang bisa diharapkan dari negara selain hanya menyanjungnya sebagai anak jenius.
Dan Calvin memandangnya sebagai bakal batu berlian yang perlu diasah.
Maka mulailah Faro dengan kehidupan barunya. Bersekolah di Yayasan San Raffles yang merupakan salah satu sekolah terbaik di Indonesia. Lantas melanjutkan pendidikannya dengan beasiswa di National University of Singapore sampai menempuh strata 3 dan meraih gelar profesornya dengan nilai paling bagus.
Meski statusnya sebagai anak beasiswa dan perantau, Faro tidak pernah hidup kekurangan di Singapura. Ia mendapat uang saku bulanan yang cukup besar, seperti anak asuh Calvin Winata yang lain.
Bedanya adalah, hanya Faro yang begitu akrab dengan 2 putri Calvin Winata.
Luna dan Lyra.
Faro pertama kali bertemu mereka di hari pertamanya tiba di rumah utama Calvin Winata. Sejak hari itu, Luna menjadi sangat akrab dengannya dan sering meminta Faro mengajarinya beberapa pelajaran yang sulit. Sementara Lyra yang masih bayi malah menangis setiap Faro pergi untuk berangkat sekolah. Mereka sangat akrab layaknya saudara kandung.
Belasan tahun berlalu ketika Faro akhirnya berdiri di pelaminan bersama Luna, semua orang mengatakan hidupnya sempurna.
Faro tersenyum tipis. Hidupnya yang sempurna, atau hidupnya terpoles dengan sempurna?
"Minumlah, Nak."
Faro tersentak dari lamunan panjangnya, mengerjap. Berapa lama ia melamun? Lamunannya bahkan menelusuri lorong waktu sampai 8 tahun lalu.
"Kamu tampak banyak pikiran, Faro."
Lelaki itu menatap ibu panti yang wajahnya sudah sepuh. Ibu pertama yang Faro ingat sepanjang hidupnya. "Sepertinya semakin dewasa semakin banyak pikiran, Bun."
"Kamu benar, nak."
Terakhir kali Faro bertemu dengan ibu panti adalah 3 tahun lalu saat Dian Arum pergi berobat karena sakit-sakitan. Dan terakhir kali Faro berkunjung ke panti,, entahlah, lelaki itu sudah lupa saking lamanya.
"Namamu kembali disebut di koran ternama, Faro." Bunda mencoba bergurau, mengingatkan euforia 25 tahun lalu saat nama Faro pertama kali tertera di koran. Satu panti asuhan heboh, dan itu adalah saat yang menyenangkan karena Faro melihat seluruh anggota keluarga panti ikut bahagia. "Bocah yang dulu selalu bertanya-tanya dimana orang tuanya kini tumbuh menjadi lelaki dewasa yang mengagumkan. Seorang direktur perusahaan yang sukses dengan mega proyek pertamanya. Menikah dengan wanita sehebat Luna Maria Winata. Bunda ikut senang, Nak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SH
FanfictionTentang bagaimana bertahan bersama luka Tidak peduli berapa lama pun waktu berusaha mengikis semua memori itu, Faro tidak akan pernah lupa. Cinta,, selalu tentang sebuah perjalanan pulang. Bagaimana 2 jiwa yang tadinya terpisah, berusaha mencari jal...