16 - Let's Talk About Love

1.3K 217 40
                                    

"Laki-laki tidak perlu wanita paling cantik untuk membuatnya jatuh cinta."

"Tapi ketika laki-laki jatuh cinta, maka baginya wanita itu adalah wanita paling cantik dalam hidupnya," sahut Faro seraya terus mengemudi. Jalanan menuju Bandung tidak terlalu ramai saat hari efektif bekerja.

Lyra mengalihkan tatapannya dari buku berisi kumpulan sajak anonim, menatap Faro takjub. "Kakak sudah membaca buku ini?"

"Tidak."

"Lalu bagaimana bisa tau kelanjutannya?"

Faro tersenyum, melirik Lyra sekilas sebelum kembali mengemudi. "Itu hanya logika sederhana, berlaku secara general, termasuk bagi perempuan."

"Benar juga." Lyra menutup bukunya. Tidak bagus juga membaca buku berlama-lama di mobil, bisa mual. Gadis itu lalu menoleh. "Kakak, apakah aku cantik?"

Faro mengangguk pelan. "Cantik adalah sifat alami yang dimiliki semua perempuan."

"Secara subjektif, aku cantik tidak?" tagihnya greget.

Mobil berhenti di lampu merah, mereka sudah hampir sampai di Bandung. Faro menatap Lyra, gadis itu menunggu jawabannya dengan cengiran lebar dan alis yang bergerak naik-turun.

"Kamu akan mencubit kakak kalau kakak bilang tidak, kan?"

Lyra lantas terkekeh, kembali bersandar ke punggung jok dengan tangan bersedekap. "Tau saja," sahutnya. "Kakak, bagaimana rasanya jatuh cinta pada perempuan paling cantik?"

"Maksudnya?"

"Jatuh cinta pada kakakku, bagaimana rasanya?"

Faro berdehem pelan, bertepatan dengan lampu hijau dan mobil kembali melaju. "I can't describe."

"Rasanya complicated sekali ya?"

Faro menggeleng pelan. "Jatuh cinta hanyalah sebuah perasaan sederhana ketika menyayangi orang lain. Yang kemudian membuatnya rumit adalah rasa ingin memiliki, meski kadang berakhir melepaskan."

Lyra mengangguk paham, meski tidak sepenuhnya yakin. Maksudnya, hampir setiap orang memiliki penafsiran sendiri soal cinta. Sementara Lyra sama sekali tidak pengalaman soal cinta. Jadi ia nurut saja dengan yang sudah berpengalaman. "Kakak pernah merasakan itu?"

"Yang mana?"

"Rasa ingin memiliki, meski kadang berakhir melepaskan."

"Pernah."

"Berapa kali?"

"Cukup sekali seumur hidup."

Kali ini Lyra menoleh, menatap Faro yang rahangnya mengatup rapat. "Apa rasanya semenyakitkan itu?"

"Sangat," angguk Faro terus terang.

"Lalu bagaimana kakak melewati saat sulit itu?"

Faro hanya menghela napas pelan, memilih diam selama beberapa saat sebelum berujar pelan, "Tidak ada."

"Lalu bagaimana keadaan kakak  sekarang?"

"Sekarang?"

"Iya, sekarang, saat ini, now on." Lyra tidak bisa untuk tidak gemas dengan kakak iparnya yang super detail.

Lelaki itu lantas membelokkan kemudi memasuki areal parkir wisata Kawah Putih, langsung menemukan slot parkir untuk Tucson hitamnya. "Saat ini,, kakak bahagia," ujarnya pelan. "Sangat bahagia."

Lyra tersenyum untuk lelaki itu. Bukan jenis senyum usil atau ceria yang biasa tampak di wajahnya. Tapi senyum lembut yang tampak tulus sampai membuat Faro menatapnya lekat sekali. "Aku senang kalau kakak bahagia."

Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang