Sekali lagi, Faro tidak mau beranjak dari flat Lyra setelah memberi gadis itu makanan bergizi, belanja beberapa kebutuhan, dan makan lagi di kafe kecil favorit Lyra.
Lelaki itu menolak tidur di hotel, dan memilih tidur di flat Lyra dengan kasur cadangan yang ada di loker bawah tempat tidur utama, hanya perlu ditarik untuk mengeluarkannya.
Koper Faro juga sudah diangkut ke kamar, dan sekarang lelaki itu berdiri di sebelah Lyra, sama-sama menggosok gigi sebelum tidur. Faro menatap gadis di sebelahnya melalui pantulan cermin yang dibalas Lyra dengan wajah cemberut. Tentu saja, ia gagal mengusir Faro dari flatnya.
Maka malam itu, meski Lyra berniat tidur lebih awal, nyatanya ia malah keasikan ngobrol dengan Faro, menceritakan banyak hal. Lelaki itu pendengar yang baik, suka mendengar semua ocehan Lyra yang melantur kemana-mana sampai akhirnya gadis itu tertidur sendiri, menyisakan Faro di kasur bawah yang duduk sambil menyangga kedua lututnya.
Lelaki itu beringsut mendekat untuk menaikkan selimut Lyra. Tangannya terulur menyingkirkan rambut yang menutupi sebagian wajah cantik itu, tersenyum lembut.
Untuk sesaat, Faro berpikir bahwa hari ini tidaklah nyata. Ketika ia bisa melihat gadis itu tertawa, tersenyum, atau cemberut. Ketika Faro mencubit pipinya gemas. Semua ini seperti mimpi yang selalu Faro bayangkan selama 3 tahun terakhir.
--
Besok paginya ketika Lyra membuka mata, gadis itu mendapati Faro sudah ada di hadapannya. Lelaki itu bangun lebih dulu hanya untuk menghabiskan pagi dengan menatap gadis kecilnya yang terlelap seperti kucing.
"Buongiorno." Lelaki itu tersenyum, lengannya bersandar di sisi ranjang Lyra dengan bertopang dagu.
"Kakak terdengar fasih." Lyra mengerjap heran.Faro menunjukkan ponselnya. "Google juga punya fitur listening."
"Kukira pintar betulan, ternyata abal-abal," gumamnya, berguling ke kanan-kiri sembari menggeliat.
Faro mengusak rambutnya gemas, sekali waktu ia ingin mencubit bibir Lyra yang menggemaskan, lantas bangkit, membereskan bekas tidurnya semalam dan mengulurkan tangan untuk menarik Lyra duduk. "Ayo bersiap."
"Nanti saja, jam sarapan masih lama." Lyra menguap malas. Ini akhir pekan. Baik kuliah maupun kerjanya libur, jadi ia masih ingin bermalas-malasan di kamar.
Faro bahkan heran. Dengan tingkat kemalasan yang layak membuat Lyra dapat julukan sleeping beauty, gadis itu berhasil berada di jajaran mahasiswa terbaik di departemennya. Tapi Faro akui, Lyra memang tidak perlu usaha lebih keras untuk menyesuaikan diri dengan departemennya. Seolah berbicara, mengamati isu politik dan hubungannya dengan sains sudah jadi bakat alami gadis itu. Meski Lyra lebih sering melantur tidak jelas alih-alih berkomentar soal politik. Katanya, aku masih anak bau kencur, masih harus belajar banyak baru bisa koar-koar soal politik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ein Memoir - Remembering Her - 🌐SH
FanfictionTentang bagaimana bertahan bersama luka Tidak peduli berapa lama pun waktu berusaha mengikis semua memori itu, Faro tidak akan pernah lupa. Cinta,, selalu tentang sebuah perjalanan pulang. Bagaimana 2 jiwa yang tadinya terpisah, berusaha mencari jal...