14. PELUKAN

8.1K 517 9
                                    

"Terkadang seberat apapun masalahnya, hanya pelukan yang mampu menenangkan"

***

Selepas pulang, Syarlin tidak keluar kamar. Kamarnya ia kunci, lampunya ia matikan. Gadis itu naik keatas kasurnya. Menekuk kedua lututnya.

Gelap, sepi dan hening.

Itu yang Syarlin rasakan. Terkadang, Syarlin benci disaat keadaan seperti ini. Syarlin benci sendiri, Syarlin benci ketika dirinya selemah ini.

Gadis itu terkekeh pelan, perlahan butiran bening lolos dari pelupuk matanya. Kenapa semenyedihkan ini dirinya.

Mungkin. Jika Mamanya masih ada, ia takan merasa kesepian, dan mungkin saat ini dirinya tengah dipeluk hangat juga diusap lembut dikepalanya.

"Alin kangen Mama."

Gadis itu bergumam lirih, isakannya mulai keluar.

"Alin mau dipeluk Mama."

Gadis itu kemudian meringkuk, menarik selimut sampai atas kepalanya. Gadis itu masih terisak sampai masuk kedalam alam sadarnya.

***

Gadis dengan rambut sebahu itu menggeliat, ia terbangun melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 19:00 WIB. Perutnya lapar meminta untuk di isi. 

Gadis itu pergi ke dapur untuk membuat mie. Mungkin jika Syarlin tidak lapar, gadis itu malas untuk keluar kamar.

Baru saja Syarlin hendak menyalakan kompor, suara teriakan Papanya menggema memenuhi rumah.

"ALIN, KAMU BERBUAT ULAH APALAGI."

Syarlin menoleh, menatap manik Papanya yang tajam.

"Gak ada."jawab Syarlin malas.

"GAK ADA GIMANA? KAMU BERANTEMKAN SAMA ANAKNYA KEPALA SEKOLAH. KAMU TAU DIA MASUK RUMAH SAKIT GARA - GARA KAMU."

Syarlin menatap manik Papa, lalu menghela napasnya pelas. "Papa nyalahin Alin?."

"JELAS. KAMU BUAT DIA MASUK RUMAH SAKIT. KAMU ITU PEREMPUAN ALIN. GAK SEMESTINYA BEGITU."

"Bukan salah Alin Pa."ujarnya.

"UDAH SALAH GAK MAU NGAKU. PERBUATAN KAMU ITU BUAT MALU PAPA SAJA."sentak Tama pada putrinya.

Syarlin memejamkan matanya, menahan emosi yang menggebu. Ini bukan salahnya, ia tak akan hilang kendali jika saja Gheisya tidak membuat kesabarannya hilang.

Gadis itu mendongak menatap sang Papa dengan tatapan tak percaya. Gadis itu menggeleng kepalanya pelan.

"Papa gak percaya sama Alin? Itu bukan salah Alin Pa. Jadi berhenti untuk salahin Alin."

Perlahan, matanya berkaca - kaca. Dan sekali kedipan, butiran bening itu terjun membasahi Pipi gadis berambut sebahu itu.

"Alin berbuat seperti itu ada alasannya Pa. Kenapa Papa gak tanya alesan Alin berantem sama dia? Kenapa Papa langsung percaya apa kata mereka dibanding Alin, anak Papa."

AFFRAY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang