|36,0|

4.3K 598 157
                                    

Budidayakan vote sebelum membaca






////







💜💜💜








Alen terpaku mendengar pengakuan sosok didepannya ini. Maniknya tak bergerak, menatap wajah Revan dengan bungkam seribu bahasa. Memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar.

Jari itu—masih terus menghapus air matanya yang tak mau berhenti. Hatinya perih, sungguh. Entah dirinya merasa lega atau justru takut—yang jelas, dadanya sesak.

Dirinya mendapati Revan yang menatapnya begitu dalam. Memang tidak ada kebohongan atau candaan dari tatapan itu. Namun dirinya tak mau langsung mengambil kesimpulan, dia juga butuh kepastian lainnya. Apakah pelatihnya ini benar-benar menyukainya atau hanya di mulut saja.

Sementara Revan terus menatap Alen dengan lekat, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah sosok manis didepannya ini sudah memerah sebab menangis tadi.

Lantas setelah beberapa menit berlalu, Alen melepas tangannya dari lengan Revan, menunduk sembari menghapus air matanya yang masih tersisa diwajahnya.

Berniat melepas pelukan itu namun tangannya sudah lebih dulu digenggam oleh Revan. Dirinya bisa merasakan punggung tangannya dielus halus.

Maka dirinya pun membiarkan pria didepannya ini, menunggu sekiranya apa lagi yang akan disampaikan olehnya.

Lima menit berlalu, keduanya masih dilingkupi keheningan. Revan juga tidak kunjung bersuara, dia justru sibuk mengelus jari jemari Alen digenggamannya.

Maka didetik selanjutnya, Alen mendongak menatap Revan dengan jengkel.

"Kalo udah selesai, aku mau turun". Saut Alen cepat sebab kesal pria didepannya ini tak juga bersuara.

Revan pun menghela napasnya sejenak, dia tau anak ini masih marah padanya. Ia juga bingung harus bagaimana, karena jujur—ini adalah pertama kalinya dirinya merasa gugup menghadapi seseorang.

"Saya harus apa biar kamu maafin saya?". Revan hanya bisa menatap surai legam sosok didepannya ini dengan sendu sebab Alen menundukkan kepalanya.

Alen yang mendengar pertanyaan itu pun mengerutkan dahinya, mendongak kembali menatap Revan. Namun sepertinya melihat wajah Revan bukanlah pilihan yang tepat. Ia sontak membuang pandangannya ke arah lain sebab merasa wajahnya mulai memanas lagi. Bukan karena ingin menangis, tetapi tatapan Revan tadi berhasil membuat jantungnya berdetak tak karuan seiringan dengan wajahnya yang memerah.

Kenapa Revan menatapnya seperti itu?

Apa sedari awal memang dirinya ditatap seperti itu?

Kenapa dia tidak langsung menyadarinya?

Alen tidak tau bagaimana menjelaskannya, yang pasti manik hazel milik pelatihnya ini benar-benar intens menatap lurus matanya, apalagi dengan raut muka yang begitu mendalam.

Bahkan Alen hanya bisa menggelengkan kepalanya sekedar membalas pertanyaan pelatihnya ini.

Revan tersenyum tipis melihat responnya, tangannya pun tak tinggal diam. Jarinya meraih dagu itu perlahan membuat Alen kembali mengangkat kepalanya.

Coach  •ᴠᴋᴏᴏᴋ [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang