4O-sampai jumpa di neraka

753 60 18
                                    

/ Felixo Asheria Andromalius /

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

/ Felixo Asheria Andromalius /

*

Walaupun Alea bukan anak kandung kita, tapi aku lebih mementingkan Alea daripada Allin tak berguna itu!

Felix mengukir senyum manis, suasana hatinya membaik seketika. "Aku puas dengan hasil rekaman suaranya. Bagus, Axel. Barang-barang teknologimu sangat berguna," puji Felix sambil menggeleng antusias.

Jangan kira saat Felix memasang earphone tidak ada maksud apa-apa. Tentu, barang bawaan Axel itu bisa merekam semua suara yang terdengar kala itu. Suara Felix, Azazel dan Annalyn sekalipun. Setidaknya rekaman ini bisa menjadi senjata bagi Felix untuk Allin dan Alea nantinya.

Ah, kedua adiknya itu, kasihan sekali. Sekarang saatnya mengekspos kebohongan besar itu. Tidak sabar rasanya. Mobilnya terhenti tepat di depan rumah dominan berwarna emas, rumah Felix tentunya. Dia keluar dari mobil meninggalkan Axel yang lagi-lagi akan menggotong Allin untuk masuk ke dalam rumahnya.

Sambil berjalan, Felix mendengar suara langkah kaki dari Axel yang terburu-buru. Sepertinya tubuh Allin berat sekali sampai Axel kewalahan begitu. Felix menoleh sedikit ke belakang. "Berisik sekali sepatumu, lantaiku bisa pecah jika langkahmu terburu-buru seperti itu," sindir Felix.

Axel mendengus sinis. "Diamlah, coba saja gendong gadis ini, rasakan sensasi bebannnya!" cibir Axel tak ingin direndahkan.

Felix mengedikkan bahunya, tangannya terulur untuk memegang kenop pintunya dan tak lama terbukalah pintu megah Felix. Benar, finger print, tidak perlu kunci. Karena finger print ini pula Alea bisa kabur kala itu.

Mereka mulai masuk dan Felix langsung menjatuhkan bokongnya di sofa. "Bawa Allin ke dalam kamarku," titahnya pada Axel.

Axel memasang ekspresi heran, alisnya terpaut dan wajahnya sinis. "Kau mau apa, hah?!"

"Membunuhnya."

Axel masih dengan air muka heran, kerutan di dahinya kali ini terlihat jelas. "Repot-repot sekali. Kenapa juga harus di kamarmu?" oceh Axel, tapi dia tetap melanjutkan jalannya menuju kamar Felix.

Beberapa saat hanya suara kicauan burung yang terdengar, ah jangan lupakan pekarangan rumah Felix dengan jalan setapak serta rumah burung (walaupun Felix tidak memelihara burung) menjadikan pekarangan rumah Felix tidak sepi.

Menurut Felix, suaranya menenangkan. Terkadang burung berwarna coklat atau merah yang sering datang ke rumah burungnya, tapi saat ini burung berwarna hijau yang sedang ramai.

"Sepertinya dia akan sadar beberapa menit lagi," ucap Axel sambil berjalan mendekat pada Felix.

"Oh, baguslah. Biar nanti saja kubunuh dia," balas Felix.

Axel membuka mulutnya dengan syok. Tangannya terangkat seperti orang yang kebingungan. "Kenapa tidak sekarang sebelum dia sadar? Itu lebih mudah, kawan!"

Imaginary Devil (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang