62-serasi

370 31 6
                                    

Mungkin kali ini Felix benar, perkataannya dulu tentang Alea yang akan selalu kembali padanya, sekarang benar. Meski maut hampir menjauhkan Alea dari Felix, tetapi akhirnya Alea kembali pada genggaman Felix.

"You ok?" tanya Alea, matanya menyongsong kekhawatiran yang begitu dalam. Kelopaknya bengkak, ya ampun sudah berapa lama Alea terus menangis?

Felix tersenyum simpul, ia membingkai wajah Alea dengan kedua tangannya. Kemudian mengangguk, sangat lemah. Namun, Alea begitu senang karena Felix meresponsnya dengan cukup baik. Kedua tangan Alea langsung menyapa tubuh Felix. Memeluk dengan segala rasa lega yang telah lama tak ia rasakan. "Don't do that anymore," ringis Alea, ia menenggelamkan wajahnya pada tengkuk Felix yang berlumuran keringat.

Alea melepas pelukannya setelah beberapa hisakan ia hanturkan pada Felix. Kedua tangannga memegang bahu Felix dan wajahnya menatap Felix lekat-lekat. "Aku hampir kehilanganmu, Felix. Jangan seperti itu lagi, kumohon," lirih Alea. Bibirnya bergetar dan condong mengarah ke bawah.

Felix sekali lagi hanya mengangguk dengan senyum kecilnya. Ia mengulurkan jar-jarinya yang masih sangat lemah untuk menghapus air mata Alea. "Seharusnya kau menurut sejak awal," ungkap Felix. Suara Felix tak terdengar, hanya gerakan bibirnya saja yang mampu dibaca Alea.

Alea tersenyum dan sekali lagi memeluk Felix, menumpahkan segala bebannya dan kesedihannya pada pria yang berstatus suaminya itu. Hingga langkah kaki yang cukup kencang memisahkan mereka, membuat jarak di antara kedua insan yang tengah dimabuk kerinduan.

"Nyonya ... Alea. aku mendapat kabar bahwa kasus ini telah ditutup dan kau serta pelaku maupun korban dibebastugaskan."

Deg!

"Kasusnya ... ditutup?" gumam Alea dan mendapat anggukan yang cukup jelas dari orang tersebut. Sepersekian detik awal Alea merasakan bahwa denyutan jantungnya semakin keras, rasanya Alea ingin kebenaran, Alea ingin keadilan. Namun, untuk siapa? Felix, Azazel, Benjamin ... ketiga pria itu bisa dibilang sebagai korban juga.

Tepukan di bahunya membuat Alea tersadar, ia menoleh ke arag Felix dan orang tersebut mulai keluar dari ruangan. Felix kembali membuka mulutnya. "Bukankah ini kabar baik?" tanyanya.

Alea ragu untuk menjawab, untuk mengangguk saja rasanya sangat enggan.

"Apa yang kau inginkan dari kasus ini?"

Alea menghela napasnya dengan kasar. "Aku—"

Plak!

"Kau mau uang?" sela Felix sambil melempar dompetnya. Matanya manghunus cukup tajam, menusuk ulu hati Alea dengan sukses, tetapi tatapan mata Alea berbalik seratus delapan puluh derajat, penuh kecemasan dan kesedihan.

Alea menggeleng lalu menolak, "Tidak, Felix." Alea merendahkan tubuhnya dan mengambil dompet yang tadi dilempar Felix, memberikan dompet mahal itu pada pemiliknya yang masih menatapnya tajam.

"Lalu?"

Alea duduk di bangku samping brankar Felix, kedua tangannya menggenggam satu tangan Felix. "Kurasa ini bagus, walaupun terasa tidak adil."

Felix menaikkan satu alisnya. "Kau mau mengadiliku bahkan saat kau melihat kondisiku seperti ini?" Suara Felix mulai terdengar perlahan.

Alea sekali lagi menghela napas. "Tidak Felix, ah—lupakan saja. Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan, mungkin sedikit sedih, tetapi juga bahagia. Aku merasakan keduanya secara bersamaan."

Felix mengacak rambut Alea. Sedikit mengagetkan, dan cukup tidak menyangka. Alea bahkan menatap Felix dengan lamat-lamat. Matanya sedikit berkaca-kaca.

"Ini 'kan yang suka Benjamin lakukan?" tukas Felix, senyumnya simpul tetapi terkesan manis.

Imaginary Devil (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang