43-belum jadi ibu

947 66 27
                                    

/ Felixo Asheria Andromalius /

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

/ Felixo Asheria Andromalius /

*

"Percayalah, kakak angkatmu yang satu ini tak akan seperti yang lain, kujamin kau akan aman bersamaku."

Alea menahan sudut bibirnya agar tidak melengkungkan bibirnya ke bawah. Napasnya sesenggukan kembali, lengannya yang tak terbalut apa-apa kini menghapus sisa lendir di hidungnya. Sedetik kemudian Alea berlari, menghampiri Felix untuk masuk ke dalam dekapannya Felix. Memeluk calon suaminya—yang ternyata kakak angkatnya. Menangis dalam dada bidang Felix.

"Kenapa semuanya membohongiku? Selama ini kupikir mereka benar-benar orangtua kandungku. Fekix—hiks!" Alea mencakar punggung Felix cukup kuat, menyalurkan segala emosinya. Alea cemberut, bibirnya pun bergetar.

"Tenang, babygirl. I'm here, aku tak membohongimu seperti yang lain," tenang Felix, mengusap dari atas kepala Alea sampai ke pinggang Alea. Menenangkan gadisnya sekaligus adiknya itu sekuat tenaga.

Alea memegang pakaian Felix bagian dada kali ini, menempelkan wajahnya pada kedua punggung tangannya. "Berjanjilah, Felix!" teriak Alea, cukup keras.

Felix menggeleng dalam diam. Dia tak menanggapi Alea saat itu. Tangannya masih bergerak untuk menenangkan Alea. "Minum air dulu, kau sesenggukan," jawab Felix yang malah mengambil topik lain.

Alea mengangguk, dia mulai menjauh dan duduk di pinggir ranjang kembali. Tatapannya ke bawah, kosong. Menunduk dalam. Sampai langkah kaki Felix terdengar dengan segelas air mineral di tangan kanannya.

Felix menyodorkannya pada Alea dan Alea menerimanya dengan lembut. "Bagaimana kau bisa bertengkar dengan Papa? Sampai semurka itu pula, Papa tidak menganggapmu anaknya lagi?" tanya Alea saat minumnya habis. Dia menggeser dirinya ke belakang, memberikan sedikit tempat untuk Felix agar bisa duduk di sebelahnya.

Terdengar helaan napas berat dari Felix. Perlahan dia mulai duduk sambil bersandar di kepala ranjang. Tangannya menarik pelipis Alea hingga pipi Alea menyentuh pundaknya. Kini, Alea bersandar pada bahu Felix.

"Aku mempermalukannya beberapa kali, menentangnya, membuat masalah di rumah, mabuk, dan parahnya ...." Felix menutup mulutnya kembali. Dia membuang pandangannya ke arah lain.

Alea melirik, kepalanya dia gerakan sedikit agar bisa melihat Felix sepenuhnya. "Parahnya ...?" tanya Alea, entah suruhan untuk Felix agar melanjutkan ucapannya atau sekedar bertanya.

Felix membalas tatapan Alea. "Parahnya aku—hmph!" Felix menggoyangkan kepalanya saat tangan Alea dengan cepat menutup mulutnya.

"Sudah tidak perlu dilanjut," ungkap Alea lagi.

Felix terdiam, lalu melepaskan tangan Alea dari mulutnya. Riuh hening melanda mereka berdua, hanya ada deruan napas yang memecah kecanggungan di antara mereka.

Alea membuang pandangannya, kemudian menarik kepalanya sendiri dari bahu Felix. "Aku ingin keluar sebentar. Tadi kupesan beberapa box pizza, mungkin sudah sampai lobby."

Alea langsung berdiri, sedangkan Felix hanya menggerakan bola matanya mengikuti arah gerak Alea sampai tak terlihat. Sampai punggung Alea tertutup pintu.

Felix masih memperhatikan pintu yang telah tertutup kembali itu. Keningnya berkerut heran. Alea tampak sedikit berbeda dan membingungkan. Perubahan moodnya yang tadi ceria menjadi sedih juga terjadi dalan waktu cepat. Entah, apakah ini karena kandungannya atau memang masalah orangtuanya yang benar-benar membuat Alea sensitif?

Felix berjalan menuju ke arah balkon, duduk di bangku kecil yang sudah tersedia di sana. Entah kenapa pikirannya tidak tenang, seakan ada sesuatu yang mengganjal. Namun, tak kunjung Felix menemukan alasannya kenapa dia tak tenang begini.

Soal Alea, keluarganya, Azazel, semuanya terasa berat sekarang. Bagaimana bisa Felix menikahi adik angkatnya sendiri karena bayi dalam perut Alea itu miliknya? Dan setelah bayinya lahir, Felix akan menceraikannya, bukan?

Ya, itu rencana Felix. Namun, sekarang sedikit kacau. Felix tidak mungkin bisa menceraikan adiknya sendiri, rencananya yang ingin lost contact dengan Alea setelah cerai harus dia urungkan.

**

Alea terdiam di ayunan kecil yang cukup menampung berat tubuhnya. Gerakan ayunannya pelan, alasan untuk mengambil makanan itu hanyalah alasan Alea saja. Tangannya yang memegang rantai ayunan mengerat, kepalanya pun bersandar di sisi ayunan yang lain.

Alea mengambil napas dalam. "Kenapa aku baru tahu soal ini?" gumamnya sendiri. Alea menggerakan jari-jari kakinya, anginnya cukup dingin dan Alea lupa tak pakai cardigan.

"Azazel memang pembohong terbaik, semuanya dikemas sangat mulus sampai tak ada sedikitpun curiga aku rasakan." Alea kini memeluk tubuhnya sendiri. Ayunan yang berada di depan fasilitas kolam renang ini memang sangat menenangkan.

Namun, kali ini rasanya sama saja. "Orangtuaku jahat sekali," ucapnya sambil menahan napas. Giginya menggertak, lalu Alea terkekeh kecil.

"Memangnya anak seperti apa yang mereka harapkan? Melahirkan anak yang tak sesuai harapan .... Allin, Felix, mereka bersaudara ternyata." Alea menengadah, melihat langit yang hampir malam.

Kemudian Alea terkekeh kembali. "Heee, benar-benar dikemas rapi. Sampai Allin dan Felix pun tak menyadarinya." Alea mengedipkan matanya yang hampir memanas. "Sama sekali tak ada kemiripan di antara Allin dan Felix, tidak kusangka."

Alea melihat kolam renang lagi, perlahan dia berjalan kecil menuju kolam. Sampai ibu jari kakinya menyentuh ujung keramik pembatas. Alea melihat ke samping, 3 setengah meter dalamnya. Cukup menenggelamkan Alea yang tingginya tak sampai 160 sentimeter.

Alea mendengus geli, dia mulai duduk di pinggir kolam sambil membiarkan kakinya masuk ke dalam kolam. "Kau tahu? Katanya ibu hamil yang stress bayinya tak akan sesuai harapan juga kan?" gumam Alea, masih sendiri. Entah pada siapa.

Alea tersenyum kecut. "Mungkin ibu kandungku dulu juga begitu, tapi kenapa Azazel menukar Allin denganku jika aku saja tak sesuai harapan?"

Alea tertendang dalam otaknya sendiri, menebak-nebak kenapa mesti dirinya ditukar? Walaupun seharusnya Alea bersyukur karena dirinya ditukar dengan keluarga berkecukupan, lebih-lebih berkecukupan malah.

Rasa ingin tahunya tak secetek itu, Alea penasaran. Dan, tidak enak bertanya apa-apa dengan Felix. Saat tadi saja, sudah tergambar tatapan kecewa dari Felix saat Alea menanyakan hal ganjalnya.

Sampai Alea tersadar, dia menunduk dan memperhatikan perutnya. "Apa aku masih mengandung?" tanyanya lagi, penuh kebingungan.

"Belakangan ini aku tak merasa seperti sedang mengandung. Sudah berapa usia kandunganku ya? Padahal kemarin baru cek," cerocosnya sendiri.

Alea terkekeh kecil lagi, dia geli sendiri dengan dirinya yang sedari tadi bicara sendiri. "Aku menggemaskan sekali," celetuk dirinya sendiri sambil tertawa.

"Iya, kau menggemaskan. Kau juga tak boleh banyak pikiran, ibu hamil tidak boleh stress karena banyak pikiran."

Alea menoleh, dan ada dua lengan yang kini memeluknya. Felix, pria tinggi itu tiba-tiba entah dari kapan ada di sini.

Alea terkekeh kembali. "Felix, aku takkan stress! Kujamin hahaha!" balas Alea.

Felix meremehkan, dia menggelitiki tengkuk Alea dengan gemas. "Tidak perlu pikirkan hal macam-macam, kau ibu hamil!" peringat Felix dengan sedikit bercanda.

"Tidak, aku belum menjadi ibu, belum ada yang menikahiku, haha!"

*

Sorry telat, aku udah mulai mpls dan yaa gituuu

Imaginary Devil (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang