24-bukan karena itu

1.2K 93 3
                                    

/ Alline Arfelia /

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

/ Alline Arfelia /

*

Benjamin tertawa renyah. "Terserah padamu, tuan dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi!" cibirnya. Dia mulai mengambil toples makanan milik Felix yang ada di depan sofa.

"Oh, tentu." Felix menyeringai. "Sudah pasti Alea akan kembali." Felix melebarkan senyumnya, bagai pangeran dari sudut neraka terdalam.

Benjamin berdecih meremehkan. "Bagaimana bisa?" tanyanya, merendahkan jati diri seorang Felix.

Felix terbatuk sebentar, dia melirik Benjamin dengan sinis. "Bisa, kautunggu saja tanggal mainnya." Felix menarik cangkirnya, lalu menegak capuccininya hingga habis.

"Cucikan cangkirku," suruh Felix dengan santai.

Benjamin membulatkan matanya. "Kau tahu sampah, Felix? Itu—"

"Itu kau, Benjie," potong Felix sebelum Benjamin menyelesaikan ucapannya. Felix terkekeh geli.

Benjamin bergidik sebal, dia hampir saja melempar sepatunya pada wajah Felix jika Felix tidak menghentikan kekehannya.

Benjamin mulai berdiri, lalu mengamit cangkir itu dan dibawanya ke arah wastafel kecil dekat kamar mandi di ruangan Felix. "Aku sama sekali tidak menyangka akan memiliki teman bangsat sepertimu, Felix."

Felix mengusap ujung bibirnya. "Tunggu, apakah kita pernah berteman?" racau Felix dengan tawanya yang lepas. Ia mulai memfokuskan matanya pada MacBook dan mengetik sesuatu di sana.

"Sungguh jika kau bukan atasan yang terhormat di sini, sudah kugiling wajahmu," balas Benjamin sekalian dengan tangannya yang mencengkeram spons cuci piring. Seolah spons itu merupakan wajah Felix.

"Kenapa tidak langsung kaucincang saja?" sahut Felix menantang, "kalau aku, sudah langsung kubakar wajahmu."

Benjamin bisa saja melempar cangkir itu ke lantai jika dia tidak mengendalikan emosinya. Namun, dewi kesabaran memihak padanya, Benjamin hanya bisa mengelus dadanya berusaha bersabar.

Benjamin melangkah menuju lemari minimalis di pojok ruangan, membuka lacinya dan menaruh cangkir itu dekat dengan barisan cangkir lainnya dengan rapi.

Tiba-tiba entah darimana, otaknya membenturkan ingatan Benjamin pada wanita yang dia temui beberapa hari lalu. Tanpa pikir panjang, Benjamin berjalan menuju Felix. Dia duduk di depan meja kerja Felix. "Soal Allin, kau belum membunuhnya?"

Felix segera menengadahkan kepalanya, matanya langsung beralih menatap Benjamin dengan tajam. "Memang belum," jawab Felix, dia kembali melihat pada laman-laman pekerjannya.

Benjamin semakin penasaran dan mulai serius untuk mendengar penjelasan dari Felix, dia bahkan menyanggah dagunya dengan telapak tangannya, dan memajukan wajahnya sampai dagunya hampir mengenai MacBook Felix. "Heem," dehamnya. "Bagaimana-bagaimana?" tanya Benjamin yang sangat terlihat kesan keponya.

Imaginary Devil (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang