29-bertemu lagi

1.1K 79 4
                                    

/ Felixo Asheria Andromalius /

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

/ Felixo Asheria Andromalius /

*

Tak butuh waktu yang lama, kabar Alea yang mengandung sudah tersebar luas. Kecerobohan Alea memanglah sangat fatal. Berusaha untuk menjelaskan, tapi ibu tersebut sudah penuh dengan keyakinan bahwa Alea benar-benar mengandung.

Ditambah, saat Alea berdebat dengan ibu itu, Alea langsung berlari masuk ke dalam rumah untuk mengeluarkan isi perutnya. Alea selalu muntah tanpa kenal waktu. Tidak biasanya seperti kebanyakan ibu hamil yang hanya pada pagi hari (morning sickness).

Sampai, Alea kembali mendapatkan semburan amarah dari Azazel. Tentu Azazel malu, karena keberadaannya sebagai tokoh publik ini menjadi buruk karena Alea. Marga keluarga Kim dengan cepat melesat jatuh ke bawah. Mendengar Alea, anak satu-satunya Azazel sudah hamil di luar hubungan pernikahan.

Setelah mendapat berbagai cacian dan makian dari orangtuanya, Alea terpaksa diasingkan. Entah, mungkin hanya untuk mengubur kabar buruk ini sampai Filipina melupakan masalah ini.

Dan, tujuannya sekarang ..., Indonesia. Azazel mengirim Alea untuk pergi ke negeri beribu pulau itu. Hingga kabar Alea hamil sudah tak dibahas di Filipina lagi. Sekarang, tentu Alea tengah berada di bandara dengan tangannya yang menggeret koper warna kuningnya.

Alea menghela berat, rasanya mau membuka ponsel saja malas. Semuanya membicarakan Alea, teman sekolahnya bahkan menjelek-jelekkan Alea di grup kelas. Uh, sungguh sangat menyebalkan.

Namun, satu keuntungan yang Alea dapat, Alea akan menggugurkan kandungannya di Indonesia, lalu berbohong pada Azazel bahwa keguguran itu merupakan suatu ketidaksengajaan.

Alea mengukir senyum, membayangkan dia akan cepat keluar dari masalah ini. Bayi dalam rahimnya akan menghilang dan Alea akan menjadi sebagaimana mestinya dulu.

"Ah, cukup simple," gumam Alea. Ia memakai earphone dan menyetel satu lagu kesukaannya. Topi serta masker dan kacamata sengaja dia gunakan agar tak banyak yang mengenalinya. Jika saja Alea pergi ke bandara tanpa menyamar begini, pasti dia sudah ramai dikelilingi para paparazzi untuk dimintai tentang kabarnya yang hamil.

Bisa saja Alea memberikan fakta yang salah, berbohong bahwa semua itu tidaj benar, bahwa Alea tidak benar-benar hamil, tapi berbicara soal alasannya, Alea malas. Dia juga tidak begitu pandai mencari alasan, apalagi alasan mengapa dan darimana kabar Alea hamil ini?

Alea mendesah berat, lalu mengeluh, "Pusing." Dia mengusap keningnya yang sudah banjir keringat. Alea menghela napas panjang. "Berapa lama lagi sih keberangkatanku?!" sergahnya.

Dia menggerakan kaki sesuai irama lagu yang keluar dari earphone miliknya. Matanya mengantuk, semalaman Alea menangis sampai tertidur saat fajar hampir datang. Kira-kira Alea hanya bisa tidur 2 jam semalam.

Omelan Azazel yang menyelekit di hatinya membuat Alea terus kepikiran, kenapa juga harus malam-malam kepikirannya? Entah saat pagi atau siang Alea tidak peduli soal itu.

Alea menoleh ke samping, alisnya bertaut jelas. Matanya memicing, menyipit dan memastikan pengalihannya sedang terganggu kala itu. " Ah, gawat, gawat-gawat!" ucap Alea sendiri.

Postur tubuhnya Alea kenal, tapi mau apa orang itu di sini. "Huh, kenapa harus bertemu dengannya lagi di sini!" Alea menggeram, dia segera berdiri dan memilih tempat menunggu di kursi lain yang lebih jauh.

Langkah yang cepat, membuat lutut Alea terantuk kursi besi. Alea merintih kecil dan tetap melanjutkan jalannya sambil menarik koper.

Sampai Alea tak menyadari bahwa pria tinggi itu sudah menangkap pergerakannya.

*

Felix mendelik sebal. Dia menatap layar menyala di lift tempat kerjanya yang menunjukan angka 2. Tujuannya ke lobj dan satu lantai lagi.

Felix membenarkan dasinya sambil bertanya, "Benar-benar harus sekarang?" Dia menggeram dan langsung melangkah saat liftnya terbuka. Jalannya yang terlihat angkuh saat pantas untuk dihormati. Semuanya menunduk dalam saat Felix melangkah di depan mereka.

Sampai Felix masuk ke mobilnya, diikuti oleh Frisya yang masih menjadi sekretarisnya. Demi apa pun Felix sangat tidak sudi menghadiri rapat dengan orang rendahan, apalagi di satu negara yang dia benci, Indonesia.

Entah dorongan darimana, Frisya berani memaksanya. Bahkan ancaman Felix akan menidurinya tidak Frisya indahkan seperti kali itu. Felix menancap gas dengan cepat, sedari tadi dia belum mendengar jawaban dari Frisya atas pernyataannya tadi.

"Argh!" Felix mendengus sinis, lampu merah. Rasanya Felix ingin cepat-cepat mengakhiri semua ini. Menyudahkan rapat di Indonesia lalu kembali lagi ke Filipina.

Frisya berdeham, "Hem!" Kemudian Frisya menengok pada Felix dengan canggung. "Kira-kira sekitar 1 jam 15 menit lagi, Tuan."

Felix balas menatap Frisya dengan tajam. "Peduli apa aku? Mau aku terlambat pun aku tidak peduli!" gertak Felix. Saat matanya melihat lampir berubah hijau, dengan cepat kakinya menekan gas kembali.

Frisya menelan ludahnya dengan sulit. "Itu memalukan, Tuan." Frisya membernarkan rambutnya saat mengatakan itu tanpa dosa.

Felix ingin sekali melempar sepatunya ke wajah Frisya, atau sekadar menampar wajahnya saat Frisya bicara tak sopan seperti tadi padanya. "Kau yang memalukan!" balas Felix dengan emosi.

Frisya masih santai, dia menoleh dan memiringkan kepalanya dengan tempo lambat. "Tuan, datang terlambat dalam rapatmu sendiri itu sangat memalukan," jelas Frisya.

Felix menurunkan alisnya, dia mencengkeram stir kuat-kuat. "Aku tidak membuat rapat itu, sialan. Itu bukan rapatku!"

Frisya mengambil napas panjang, tanyanya terulur untuk merapikan roknya yang tersampir. "Terserah padamu saja," sahut Frisya tak peduli lagi.

Felix berdecak. "Kau tidak akan pernah berhenti jadi sekretaris kurang ajar ya!?" tanya Felix dengan semburan emosi. Ia mengerem dan membuka sabuk pengaman dengan gusar.

"Kau yang kurang ajar," balas Frisya tanpa panik sedikitpun. Tangannya juga membuka sabuk dan keluar dari sisi lain mobil itu. Mereka berjalan berdampingan, langkah Felix yang besar sedikit membuat Frisya tertinggal.

"Kau yang urus tiketnya, ku ingin yang benar-benar cepat sampai!" titah Felix. Frisya mengangguk dan melangkah ke arah yang berbeda dengan Felix. Felix langsung ke tempat tunggu dan Frisya membeli tiket penerbangan paling cepat.

Felix menyandarkan bahunya di tembok, ponselnya yang berdering sempat mengalihkan dunianya. Tangan kanannya merogoh saku jasnya dan mengambil ponsel bermerk miliknya.

Namun, saat Felix ingin menyimpan ponselnya di telinga, matanya meneliti dalam. "Perempuan itu!" sertak Felix. Sontak, Felix mematikan sambungan teleponnya dengan gusar.

Dia menjadi fokus melihat ke arah gadis yang tengah berdiri dan pindah tempat duduk. "Ah, pintar juga." Felix tersenyum simpul, kemudian senyumnya berubah jadi seringai.

Felix mengerlinhkan matanya ke arah lain selain wanita itu. "Bermain-main di negara orang sepertinya seru. Apalagi dengan Alea." Felix menyalahkan layar ponselnya kemudian memberikan satu pesan pada Frisya.

Ubah jadwal pulangnya, sepertinya aku akan sedikit lebih lama di Indonesia. Felix tersenyum lebar. "Mari bertemu lagi, Alea," cekatnya.

Imaginary Devil (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang