***
Sosok hati yang telah mengisi kehidupan Violin membuatnya ingin terus bersama. Perhatian yang diberikan mampu menggetarkan hati Violin. Setiap saat yang ada hanya pertanyaan perihal kabar yang tengah Violin alami.
Tak hanya itu, setiap saat Lailand selalu datang ke kosan Violin untuk memberikan vitamin dan obat herbal agar penyakit yang diderita Violin hilang. Entah apa yang membuat Lailand seperti itu, yang jelas perbuatan Lailand kini menyentuh hati Violin. Kebaikannya tak hanya itu, masih banyak lagi sampai Violin hampir lupa.
Apalagi Lailand sekarang mengajak Violin jalan-jalan kesuatu tempat yang sejak dulu Violin mau. Walaupun belum pulih sepenuhnya, Violin sudah bisa tertawa sedia kala. Tangan Violin dengan sengaja menabrak telapak tangan Lailand untuk digandeng, sementara Lailand langsung menggenggam erat tangan Violin. Keduanya saling tatap seraya tertawa kecil.
"Bahagia banget?" Lailand mengusap kepala Violin sekilas.
Violin mengangguk lalu berhenti untuk melihat angsa yang sedang berenang di kolam. Mereka jalan-jalan di kebun binatang, suara hewan seakan tak mengganggu keduanya yang masih tertawa malu-malu.
"Aku jarang jalan-jalan. Dulu waktu kecil aku suka diajak sama orang tua keluar waktu Minggu. Sekarang udah enggak lagi," terang Violin yang dari dulu ingin bercerita dengan Lailand.
Lailand menghadap Violin dengan bersandar pada besi pembatas. Tangan Violin masih berada pada genggaman Lailand. Wajah sendu Violin seakan membuat Lailand terganggu.
"Mereka sibuk?"
Violin menggeleng. "Kita cuma terpisah alam aja. Kalau kangen, aku yang harus datang menemui mereka. Lewat angin aku bisa merasakan kehadiran mereka, Lailand." Nada sendunya seakan membuka kembali kenangan manis setiap detiknya bersama orang tua.
Ingin sekali Lailand menyuruh agar tak memakai kata-kata yang rumit, tetapi ia cegah karena tak ingin membuat Violin kehilangan mood yang tadi membaik. Dirasa Violin hampir kehilangan mood, Lailand mencoba mempertahakan mood Violin.
"Oh ya? Kalau kangen biasanya lo ngapain aja? Kenapa nggak bujuk mereka supaya kalian bisa bersama," tutur Lailand yang seketika Violin menjadi sedih.
Lailand menghela napas, sepertinya ucapannya tak membuahkan hasil apapun. Lailand langsung mengangkat dagu Violin.
"Gue salah berbicara, Lin?"
"Lailand cuma nggak tahu aja maksud Olin! Kalau Lailand tahu pasti nggak bicara kayak gitu!" balas Violin ketus.
Lailand tertawa kecil sampai menunduk. Ucapan Violin seakan berputar di sekitar telinganya. Suara yang hampir sama seperti sosok yang ia cari, namun itu tak mungkin karena jarak yang memisahkan seakan membuat Lailand kembali menatap Violin.
"Emang maksud lo gimana? Bilang sama gue biar gue paham," ucap Lailand diselingi senyuman yang menawan.
Violin cemberut, ia ragu akan bercerita banyak hal. Ia takut jika nantinya Violin akan menangis di sini. Kalau menangis nanti Lailand yang akan susah.
"Gini aja, Lailand mendingan traktir Olin deh beli makanan. Daripada Olin cerita nanti akhirnya sedih," terang Violin lalu menggeret tangan Lailand.
Lailand mengangguk mantap lalu Violin berjalan seraya mengayunkan tangan Lailand ke depan lalu ke belakang. Kaki Violin berjalan dengan menendang-nendang udara di depannya. Sesekali Violin bersenandung dengan riang.
Melihat tingkah Violin yang menggemaskan, Lailand terkekeh lalu melepaskan topi yang ia pakai, kemudian menaruhnya di atas kepala Violin. Violin langsung membenarkan letak topi.
"Sepertinya gue harus ajak lo jalan-jalan terus deh, Lin. Gemes liat lo kayak gini," celoteh Lailand yang membuat Violin menoleh.
"Boleh tuh, tapi Olin kan kerja." Violin beralih berjalan seperti biasa.
"Ya pas hari libur kayak gini. Nanti biar gue yang bawa lo ke tempat-tempat seru lainnya," tambah Lailand dengan semangat.
Berbanding terbalik dengan Violin yang menjadi lemas. "Olin biasanya ambil kerja kalau libur."
Lailand menoleh. "Kenapa? Hari libur buat istirahat dong, Lin! Lo juga perlu istirahat kalik!"
"Ya kan Olin kuliah bagi waktu, kata bos Olin suruh ganti hari libur buat kerja. Biar adil waktu kerjanya sama karyawan yang lain," jawab Violin pelan.
Sepertinya Lailand harus memahami sifat Violin yang kerap berubah-ubah. Terkadang bahagia, nanti sedih, terus bahagia lagi. Dari sini lah yang tak Lailand suka, sifat wanita yang tak bisa ditebak.
Lailand menyalurkan betapa gemasnya dirinya terhadap Violin. Lailand merangkul Violin sambil mengusap-usap rambutnya yang tertutup topi. Violin tertawa karena kepalanya yang terasa geli. Lailand langsung menghentikan aksinya lalu melingkarkan tangan kanannya di leher Violin.
"Jangan telat makan, Lin. Kalau nggak sempat ya makan roti, yang terpenting perut jangan kosong," saran Lailand lembut.
Violin tersenyum. Hatinya kembali merasakan seperti ada benih bunga telah tumbuh. Ucapan dari Lailand seakan pupuk bagi bunga itu.
"Dompet juga kosong, hehe ...," kekeh Violin mendongak melihat Lailand lalu kembali melihat depan.
"Hati lo juga kosong, kan?" tanya Lailand, "boleh gue isi?"
Mata Violin berkedip karena ucapan Lailand yang secara tiba-tiba. Memang ya Lailand selalu berbuat secara tiba-tiba sampai membuat Violin terkejut. Namun, Violin hanya diam, hatinya kembali terbuka sejak beberapa tahun tertutup.
Dalam diam Violin melirik Lailand yang juga tengah melihatnya. Mereka saling tatap sampai keduanya tersenyum canggung. Hari ini adalah hari yang akan terindah untuk berakhir. Nanti mereka akan menghabiskan waktu bersama untuk saling mengenal satu sama lain.
"Gimana?"
Violin mengangguk sebagai jawaban.
"Gue janji nggak bakal buat lo sakit hati, Lin. Lo milik gue!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLAND [TERBIT]
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIHAPUS DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN] * Hidup yang penuh tantangan karena kedua orang tuanya sudah pergi meninggalkan Violin Shakila sejak ia menduduki bangku SMP. Bermodalkan nekat, ia tetap berjuang melanjutkan hidup sebatang kara. I...