***
Matahari menyinari ruangan sempit yang kembali Violin tinggali. Semalaman Violin tak dapat tidur karena terus memikirkan keadaan Lailand yang sampai sekarang tak ada kabar.
Violin berpikir saat terbangun ia berada di pelukan Lailand, nyatanya tak ada siapun yang berada di dalam. Sunyi dalam kesendirian yang membuatnya kembali bersedih.
"Aland kangen," gumam Violin mengusap air matanya.
Tiba-tiba saja ia merasakan perutnya kembali melilit dan ingin muntah lagi. Berulang kali Violin mual dan ia segera bangkit menuju ke kamar mandi. Seperti biasa tak ada apapun yang keluar.
Violin berjalan untuk memasak air agar ia minum. "Minum air hangat mungkin bisa buat perutku enakan."
Setelah menyalakan kompor dan masak air. Violin mengecek kulkas yang selama ini tak ia urus. Bau yang keluar dari kulkas setelah dibuka membuat Violin kembali mual.
"Banyak yang busuk," ucapnya seraya menutup hidung lalu membuang sayuran yang busuk di luar rumah.
Violin kembali dan air telah mendidih. Ia menuang air panas dan mencampurkan dengan air dingin. Segera ia minum agar membuat badannya hangat. Namun tak kunjung ada perubahan.
Bibirnya cemberut. Ia jadi mengingat Lailand. "Coba kalau ada Aland, pasti tahu masalah kesehatan yang aku alami. Terus Aland biasanya rawat aku," gumamnya dengan sendu.
Namun, Violin tak mau kembali bersedih. Ia harus kuat menerima permasalahan yang sedang ia alami saat ini. Masalah rumah tangga yang ia kira tak ada lagi. Ternyata masalah masih hadir di antara kehidupan mereka.
Secepatnya Violin mandi untuk kuliah dan siapa tahu Lailand tidur di kampus dan tak sempat mengabarinya karena ponselnya masih mati. Saat ini Violin masih tak memikirkan Lailand yang macam-macam karena Violin percaya Lailand tak seburuk apa yang ia pikirkan.
Setelah Violin siap, ia keluar dari rumah dan melihat Hazwan yang sedang memanasi motor. Sekarang Violin berjalan mudah lelah, tak seperti dulu yang jalan seberapapun tetap kuat.
"Pagi, Wan," sapa Violin seraya tersenyum.
Hazwan menoleh lalu tersenyum. "Pagi, Vi. Bareng aku yuk," ajaknya kemudian menepuk jok belakang.
"Emang boleh? Atiya gimana?" tanya Violin ragu.
"Atiya berangkat sendiri biasanya. Udah nggak deket lagi. Emang kenapa?" Hazwan memakai helm seraya melihat dirinya di cermin.
Violin memainkan jari-jarinya. Ia gugup untuk menceritakan hal sebenarnya. Tetapi Violin harus bercerita siapa tahu nanti mereka bisa bersama.
"Atiya itu suka kamu," bisik Violin langsung menutup mulutnya.
Hazwan yang mendengarnya terkejut. "Masa, sih? Kata siapa?"
"Umm ... dia bilang sendiri. Cepetan lamar dia," desak Violin lalu duduk di belakang Hazwan.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLAND [TERBIT]
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIHAPUS DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN] * Hidup yang penuh tantangan karena kedua orang tuanya sudah pergi meninggalkan Violin Shakila sejak ia menduduki bangku SMP. Bermodalkan nekat, ia tetap berjuang melanjutkan hidup sebatang kara. I...