VL^27

83 28 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Mengulang kisah untuk kesekian kalinya. Bersedih karena permasalahan hidup yang tengah Violin alami. Cobaan yang serasa berat. Bimbang yang terus menyelimuti hatinya. Kini Violin kembali pasrah karena tanggal pernikahan sudah ditentukan. Bahkan Violin baru saja fitting baju pengantin. Sekarang, Violin berada di rumah pohon dekat dengan kos-kosan.

Menatap rumah-rumah yang berdiri kokoh, sehingga menimbulkan suasana sedih. Hembusan angin melewati celah tubuh Violin. Sore ini angin seakan mengizinkan untuk membuka lembaran kenangan beberapa hari bersama Lailand. Lembaran lama yang usang dengan berjuta harapan yang berakhir kandas.

"Ternyata kita nggak bisa bersama. Aku harus lupa, tapi aku akan tetap berjuang tanpa kamu," gumam Violin.

"Aku pikir ... aku nggak sendiri lagi karena ada kamu. Nyatanya waktu nggak menyatukan kita," sambungnya memainkan jari-jari tangan.

Suara deheman seseorang menyadarkan Violin. Air mata yang tadi turun langsung ia usap. Kepala Violin mendongak lalu tersenyum.

"Nangis lagi?" tanya Hazwan yang duduk di sebelah Violin.

"Baru ini!" elak Violin yang berlanjut tertawa, "rasanya mau nangis terus."

"Jangan nangis ... ada aku," gumam Hazwan yang dapat didengar oleh Violin.

Violin kembali murung. "Maaf, aku nggak bisa jawab apapun waktu kamu bilang itu. Beberapa hari lagi aku nikah, jadi--"

"Aku tahu," sela Hazwan. "Lupain aja. Aku juga nggak masalah ditolak."

Violin menatap Hazwan dengan berkaca-kaca. Air matanya turun melewati pipi halusnya.

"Andai kamu tahu, aku membuka pertemanan dengan cowok bukan untuk membuat mereka suka aku. Tapi aku hanya mau berteman. Maaf ji--"

Hazwan memegang bahu Violin. "Usstt ... nggak masalah. Lupain aja," selanya sesekali tersenyum.

Violin tersenyum. "Semoga kamu nggak sakit hati sama aku. Pertemanan kita masih tetap sama, kan?"

Hazwan mengangguk lalu tersenyum. Hati orang tak ada yang tahu. Hazwan hanya memasang wajah tegar seraya berdiri lalu membantu Violin berdiri.

"Kuliah sampai malam sanggup?" tanya Hazwan yang berjalan di samping Violin.

Violin lebih dulu turun. "Sanggup aja. Baru pertama kali kuliah sore pulangnya malam," kekeh Violin.

"Iya dosennya nggak asik," imbuh Hazwan.

Ketika Violin sudah sampai di depan motor Hazwan lalu ia menaiki motor. Mereka berangkat dalam keadaan tenang. Lain sisi Violin merasakan hal yang aneh, ketika sampai di parkiran ia melihat Lailand bersama seorang perempuan.

"Apa itu calonnya?" gumam Violin lesu. "Kalau iya, lebih cantik dari aku," sambungnya seraya membuang pandangan dari mereka.

Violin turun dari motor lalu melihat Hazwan sendu. Hazwan menaikkan sebelah alisnya, yang bisa dilakukan Violin hanya menggeleng.

"Aduh ... lupa kan buku tugas aku ketinggalan. Nanti kena masalah, kamu duluan masuk aja," suruh Hazwan lalu naik motor.

"Wan," panggil Violin, "aku sendiri?"

Hazwan mengangguk lalu mengusap kepala Violin. "Atiya udah berangkat ada di kelas."

Violin pasrah lalu ia menunggu Hazwan pergi. Setelah kepergian Hazwan, Violin mengembuskan napas lelah dan melanjutkan perjalanan. Ketika Violin telah menjauh dari parkiran dan memasuki area kampus, matanya menangkap seorang Lailand yang tengah berjalan sendiri.

"Samperin nggak ya?" tanya Violin pelan.

Kakinya otomatis menyusul Lailand, namun seketika ada tangan yang menarik Violin ke belakang. Perempuan yang selalu bersama Lailand.

"Udah gue bilang, jauhin Lailand!" perintah perempuan itu meninggikan suaranya.

"Kenapa?"

"Karena gue calonnya," ucapnya mengedikkan bahu sekilas.

Violin sampai tertegun. Ia ingin membalas namun perempuan itu lebih dulu menyusul Lailand dan melingkarkan tangannya di lengan Lailand. Sementara Lailand tak menolak. Ia justru mengajak perempuan itu berbalik badan.

Ketika Lailand dan perempuan itu berbalik badan, mereka terkejut karena melihat Violin. Violin yang berhenti lalu melanjutkan jalan seolah tak melihat mereka. Keduanya berjalan melewati Violin. Lailand lewat tanpa melihat apa lagi menyapa Violin.

Saat Lailand telah berlalu, Violin berhenti lalu menengok ke belakang. Hembusan napas keluar perlahan seraya melihat kedua orang yang sedang berjalan dengan mesra.

"Kini, kita kembali seperti orang yang nggak saling kenal. Lebih baik begitu daripada kita semakin dekat berakhir nekat."

***

Esok telah menyapa Violin. Malam hari setelah ia pulang dari kampus yang ada hanya tangisan. Violin khawatir jika tak bisa mempertahankan rumah tangganya nanti. Umurnya yang masih muda seakan mewajibkan untuk menikah.

Bahkan setelah kabar pernikahan Violin yang ikut tersebar dan Lailand yang juga menikah membuat keduanya kehilangan beasiswa. Entah apa yang terjadi dengan Violin nanti jika beasiswanya dicabut. Bahkan Violin saja belum punya pekerjaan lagi.

Semua hidupnya seakan kacau, berubah menjadi tak tenang saat ia harus membayar hutang budi pada Radit yang telah membantunya. Berulang kali Violin harus meyakinkan apa yang diucapkan ayahnya adalah yang terbaik. Violin sudah berusaha agar tak menjalani hubungan sebelum adanya orang yang menyuruh untuknya menikah. Sekarang kian nyata, Violin lagi-lagi pasrah dengan takdir.

"Siapa orangnya aja aku nggak tahu, Ma," ujar Violin yang sedang berada di makan kedua orang tuanya untuk bercerita jika akan menikah.

"Om Radit yang mau jodohin aku sama anaknya," lanjut Violin lalu mengusap air matanya.

Hembusan angin membuat wajah Violin kembali segar. "Mama sama papa ngerestuin Olin nikah, kan? Olin percaya sama ucapan papa beberapa tahun lalu. Calon suami Olin pasti baik."

Berjam-jam Violin telah berada di makam untuk menceritakan kisah hidupnya selama jauh dari kedua orang tua. Segala gundah di hati Violin ia lepaskan karena ia sendiri tak mampu untuk memendam sendirian.

Tak ada lagi orang yang bisa dijadikan untuk bercerita. Atiya kini telah berbeda, sudah tak seperti dulu lagi. Entah apa yang membuatnya menjadi cuek terhadap Violin. Teman-teman perlahan menjauh dari kehidupan Violin. Bahkan seorang yang membuat harinya dapat semangat juga telah pergi.

"Olin pernah suka sama seseorang, tapi sekarang Olin benci! Dia baik tapi sikapnya kayak buaya!"

Violin masih tak percaya jika harus bertemu orang seperti Lailand. Hatinya baik terhadap semua orang, namun perbuatan yang selalu menyakiti hati perempuan yang tak Violin suka. Violin cemberut lalu memeluk batu nisan ibunya.

"Tapi ... Olin mau nikah sama Lailand ...."

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
VIOLAND [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang