***
Segala permasalahan yang ada di hidup Violin seakan membuatnya tegar. Violin meyakinkan dirinya sendiri jika ini baru masalah kecil. Dulu masalah terberat saja ia mampu untuk menjalani, masalah sekecil ini pasti Violin akan melewatinya.
Di dalam kamar dengan nuansa cokelat karena warna kesukaan Violin adalah cokelat, seperti makanan kesukaannya. Suara alunan musik yang menenangkan mampu membuat Violin tak memikirkan masalah yang sedang ia alami sekarang.
Berada di lingkup ruangan sepi seakan hal biasa untuknya. Beberapa menit lalu Violin baru saja menyelesaikan berdandan untuk bekerja. Kerja merupakan rutinitas Violin saat kuliah libur. Jangan ditanyakan lagi keadaan Violin saat ini. Untung saja ada make up yang dapat menutupi wajah lelah Violin.
Saat Violin berdiri, ia merenggangkan tulangnya yang serasa kaku. Violin meraih tas yang tergetak di atas meja lalu menyampirkan di bahunya. Setelah Violin bersiap ia langsung menuju pintu lalu membukanya. Ketika pintu terbuka, pemandangan seorang pria yang hampir mengetuk pintu membuat Violin terkejut, begitu juga dengan pria itu.
Violin menjadi gugup, sudah beberapa tahun ia tak bertemu dengan pria itu. Violin hanya berkebar lewat media sosial karena jarak yang tak mendukung. Pria itu tersenyum kepada Violin dan ia membalasnya.
Tangan Violin menyalami tangan pria itu. "Apa kabar, Om?"
"Baik."
Pria itu adalah Radit yang merupakan sahabat dari ayah Violin yang selalu membantu segala keperluan Violin yang tak mampu ia biayai. Setelah kematian ayah Violin, Radit lah yang menggantikan posisi ayah Violin.
Violin menutup pintu lalu melihat Radit. "Sejak kapan ke sini, Om?"
"Baru kemarin. Saya mau bicara sama kamu, ini menyangkut perjanjian beberapa tahun lalu bersama ayah kamu," ujar Radit begitu saja, sehingga Violin merasa sedih kembali.
Kunci yang telah terlepas langsung dimasukkan ke dalam tas. "Perjanjian apa tuh?"
Radit tersenyum. "Perjodohan kamu dengan anak saya."
Perkataan tadi yang bergitu saja membuat Violin terkejut sampai matanya melotot. Jantung Violin berpacu hebat karena perkataan itu lah yang tak Violin harapkan. Saat seperti ini lah yang tak Violin suka. Keadaan Violin yang tak mau dekat dengan lelaki manapun, justru datang lelaki yang akan mengisi hidupnya.
Pikiran Violin hanya berisi cara untuk melupan Lailand yang telah menghancurkan bunga yang pernah tumbuh di hatinya. Violin kembali bimbang untuk menjawab ucapan baru saja.
"An-nak om siapa?" tanya Violin gugup.
Dahi Radit mengkerut. "Kamu lupa?" tanyanya dengan tawa pelan.
"Iya," jawab Violin terkekeh.
"Maklum ya udah lama nggak ketemu. Sekalinya ketemu bikin kaget, ya kan?" Radit mengelurkan amplop dari dalam jasnya lalu memberikan ke Violin.
Alis Violin menyatu. "Iya keget banget. Itu apa?" tunjuk Violin menggunakan mata.
"Beberapa bulan ini saya belum kirim kamu uang karena sibuk. Istri saya juga lupa, jadi sekalian aja kasih waktu ke sini. Maafin om karena ceroboh," tuturnya lalu memberikan amplop ke Violin.
Violin mengambil amplop itu dengan mulut yang terbuka. "Om Radit udah nikah?"
Radit terkekeh, "Baru tahu kabarnya? Udah 2 tahun. Uang kamu yang kirim ya istri saya."
Violin mengangguk-angguk. "Maaf ya om jadi nggak sempat datang. Kalau orang-orang mah bilangnya 'happy wedding' kalau aku ucapin sekarang telat nggak sih?"
"Enggak masalah, kapan aja ucapinnya. Lagian om nggak kasih tahu ya karena acaranya kecil-kecilan," ucap Radit diselingi senyuman.
"Oh iya lupa lagi, makasih ya om uangnya. Andai papa masih hidup, pasti setiap saat papa yang kasih uang," cicit Violin dengan sendu. "Sekarang udah beda, Om Radit malah yang kasih uang."
Radit bisa merasakan apa yang tengah dialami oleh Violin, karena Radit juga seorang anak yang telah ditinggal oleh ayahnya. Tarikan napas terdengar kasar dari hidung Radit.
"Saya juga ayah kamu sekarang. Beberapa Minggu lagi kamu 'kan menikah dengan anak saya," ceplos Radit yang menghilangkan sedih Violin dan berganti dengan wajah terkejut.
"Hah?"
Radit terkekeh, "Sepertinya saya selalu membuat kamu terkejut ya. Intinya beberapa Minggu lagi kamu akan menikah. Semua biar saya yang mengurus."
Sudah tak tahu lagi Violin akan menyikapi kabar yang mendadak seperti apa. Sebelumnya tak ada tanda-tanda Violin akan dijodohkan, sekarang perjodohan Violin menganggu hidupnya.
Radit melihat jam di pergelangan tangannya. "Udah mau jam 9, ada rapat. Nanti dibahas lagi ya."
Violin mengangguk lalu mengantar Radit sampai mobil. Saat klakson mobil berbunyi lalu mobil Radit menjauh dari kosan Violin, ia mengembuskan napas panjang karena masih belum percaya akan dijodohkan.
Tanpa banyak berpikir lagi, Violin pergi menuju ke kantor karena tadi dipanggil oleh pemilik perusahaan. Violin berjalan sampai tukang ojek pengkolan lalu menuju kantor.
Sepanjang perjalanan yang ada hatinya ribut dengan pemikiran yang belum pasti terjadi. Hembusan napas sampai terdengar oleh pengemudi ojek.
"Kenapa, Neng? Gusar banget. Ada masalah?" tanya tukang ojek seraya menggerakkan kaca spion ke arah Violin.
Violin menunduk. "Enggak, Bang. Cuma angin itu loh tabrakan sama napas aku jadi gini."
Seketika tukang ojek itu membuka kaca helm. Violin yang melihat dari kaca spion langsung terkejut karena melihat wajah Lailand lah yang ada di depannya. Violin memukul punggung Lailand karena terkejut.
"Hih! Kamu kok bisa di sini!" teriak Violin yang masih memukul Lailand.
Lailand tertawa, "Lo yang lebih dulu naik. Kebiasaan nggak liat-liat orang."
Tangan Violin langsung turun karena Lailand yang menahan sakit. Keraguan untuk berbocara tentang permasalahan yang sedang Violin hadapi masih ada, padahal Lailand terus saja mendesak agar Violin selalu bercerita apapun ke Lailand
"Kenapa, Lin? Cerita sama gue kalau ada masalah." Lailand mengengok ke belakang.
Violin kembali menatap wajah Lailand yang tersorot matahari. Bibirnya kelu hanya untuk mengatakan 'baik-baik saja' akhirnya Violin hanya menggeleng lalu diam.
Lailand kembali melihat depan lalu mengembuskan napas. Motornya berhenti karena telah sampai di tempat tujuan. Violin turun lalu berlari sampai berhenti di depan kantor. Violin berbalik badan untuk melihat Lailand. Senyum Violin terangkat sekilas.
"Mungkin ... lebih baik aku menerima perjodohan itu daripada terus tersakiti karena Lailand."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLAND [TERBIT]
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIHAPUS DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN] * Hidup yang penuh tantangan karena kedua orang tuanya sudah pergi meninggalkan Violin Shakila sejak ia menduduki bangku SMP. Bermodalkan nekat, ia tetap berjuang melanjutkan hidup sebatang kara. I...