***
Kebahagiaan masih mengelilingi Violin karena Lailand yang terus saja membuat hati Violin berbunga. Tak bisa Violin menyembunyikan apa yang dirasa saat ini. Senyum merekah seperti bunga yang ada di dalam hatinya yang sedang mekar. Perkataan Lailand menjadikan pupuk bagi si bunga yang terus saja tumbuh. Tak bisa dibicarakan lagi betapa bahagianya Violin saat ini.
Keadaan kantin yang ramai tak bisa membatasi gerakan Violin yang mencari tempat duduk. Jam kuliah telah usai, Violin dan Atiya sekarang berada di kantin karena perut mereka yang kosong. Masalah pembayaran sudah ada yang menanggung, siapa lagi kalau bukan Hazwan.
"Woy! Sini!" teriak Hazwan yang tengah duduk seorang diri di meja yang berada di tengah.
Atiya dan Violin yang mendengar teriakan dari Hazwan langsung nenoleh lalu Atiya menyenggol bahu Violin. Violin yang paham mengikuti langkah Atiya untuk menuju ke tempat Hazwan duduk. Langkah Violin dipercepat agar segera duduk di samping Hazwan.
"Seger banget mukanya, Vi," ejek Hazwan dengan sindiran.
"Harus dong, emang aku harus sakit terus?" Violin memangku tangan lalu mengambil alih mangkok bakso Hazwan.
Hazwan langsung mencegah agar Violin tak mengambilnya dengan cara menepuk punggung tangan Violin. Violin mengusap telapak tangannya yang Hazwan tepuk.
"Beliin sana Wan, aku mau bicara sama Violin," ujar Atiya dengan serius lalu mengibaskan tangannya di udara.
Hazwan mendengkus karena kesal. Ia segera bangkit dari tempat duduk lalu menjauh dari Atiya dan Violin.
Wajah Violin bingung karena dari awal Atiya tak pernah membahas permasalahan yang serius. Bahkan Violin tak paham dengan sikap Atiya yang sekarang.
"Kenapa?" tanya Violin penasaran.
Tanpa berpikir panjang, Atiya langsung bertanya karena sejak kemarin ia selalu kepikiran. "Kamu lagi dekat sama Lailand?"
Dengan ragu Violin mengangguk, pasalnya kalau Violin lihat Atiya begitu membenci Lailand.
"Memang kenapa kalau aku dekat Lailand?" Violin bertanya. "Kamu keberatan?"
"Ya! Aku cuma nggak mau kamu sakit hati, Vi. Lailand nggak seperti yang kamu lihat, dia buaya!" ucap Atiya dengan bersungguh-sungguh sampai suaranya terdengar bergetar.
Violin tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Atiya. Ia begitu yakin jika Lailand tak seperti yang Violin nilai.
"Mana mungkin, Ti! Lailand itu baik kok. Bahkan dia bilang nggak akan membuat aku sakit hati," bela Violin seraya mengusap tangan Atiya.
Atiya berdecak, "Terserah, Vi! Aku sudah mengatakan berulang kali, sebaiknya kamu jangan dekat Lailand lagi!" Napas Atiya tak teratur karena ia menahan rasa kesalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLAND [TERBIT]
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIHAPUS DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN] * Hidup yang penuh tantangan karena kedua orang tuanya sudah pergi meninggalkan Violin Shakila sejak ia menduduki bangku SMP. Bermodalkan nekat, ia tetap berjuang melanjutkan hidup sebatang kara. I...