***
Sudah lima bulan Violin mengandung anaknya. Kini perutnya semakin besar dan semakin sulit juga dirinya. Tak ada kebahagiaan besar yang berarti bagi Violin. Hidupnya serasa tak adil saat tahu dirinya sedang berada di masa kesulitan. Menghidupi sendiri calon bayi yang akan hadir menggunakan uang hasil kerjanya dan tambahan dari kedua orang tua Lailand yang berada di luar negeri.
Kini, Violin bersandar pada dinding karena merasa lelah seharian memasak. Violin membuka rumah makan sendiri di dekat kampus karena kalau kerja ia akan merasa tertekan. Sekarang rumah makannya berjalan dan memiliki beberapa pegawai yang membantunya.
Violin mengusap perutnya serasa meneteskan air mata karena ia hampir menyerah. "Aland pulang lah. Udah lama nggak pulang, nggak kangen?"
Sejak saat itu Lailand tak kunjung pulang. Violin hanya pasrah, ia tak tahu harus mencari Lailand bagaimana lagi. Bahkan kedua orang tuanya juga menyerah karena anaknya kembali berulah. Kesabaran lah yang Violin lakukan saat ini.
"Vi."
Namanya yang dipanggil langsung menoleh. Suara yang hampir sama seperti milik Lailand. Namun, yang ada hanya Aland kakak tingkatnya yang berada tak jauh dari Violin berdiri. Aland berjalan membawa kertas kecil lalu berhenti di depan Violin.
Tangan Aland mengusap perut buncitnya. "Besar banget, Vi," ucapnya terkekeh.
Violin meringis. "Iya, Kak. Berat juga."
Aland tersenyum seraya memberikan kertas kecil tadi dan Violin mengambil kertas itu lalu membukanya. Ternyata isinya adalah kartu ATM yang seketika membuat Violin mengingat beberapa bulan lalu saat dirinya meminta uang justru Lailand yang membuatkan kartu ATM.
"Dari Lailand, Kak?" tanya Violin yang kembali bersedih.
"Iya. Lailand sendiri yang kasih ke aku," jawabnya yang langsung membuat Violin melotot.
Violin mendesak agar Aland mengatakan hal lebih. Namun Aland hanya terdiam, ia juga ragu harus mengatakan bagaimana lagi. Violin menghela napas panjang.
"Kak ... please. Di mana Lailand?"
"Lailand aman kok, aku yang pantau. Beberapa bulan lagi kamu pasti bertemu dengannya." Aland mengusap kepala Violin. "Dia lagi kangen sama kamu dan mau ketemu sama anaknya. Tapi nggak bisa."
"Kenapa?"
"Dia belum siap lihat kamu nangis," jawab Aland menaikkan bibirnya sekilas.
Kepala Violin menunduk, air matanya mulai menetes. "Justru seperti ini lah, Kak. Aku nggak tenang."
"Makanya itu, Lailand suruh kamu tenang. Dia baik-baik aja. Sekarang kamu beli semua kebutuhan calon anak kamu pakai kartu ini. Biar Lailand merasa ikut mengurusi anak kalian," jelasnya lalu mengusap kepala Violin lagi. "Aku pulang dulu," lanjutnya lalu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLAND [TERBIT]
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIHAPUS DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN] * Hidup yang penuh tantangan karena kedua orang tuanya sudah pergi meninggalkan Violin Shakila sejak ia menduduki bangku SMP. Bermodalkan nekat, ia tetap berjuang melanjutkan hidup sebatang kara. I...