18. Fact

3K 695 108
                                    


Alea berharap kalimat itu adalah angin lalu.

Alea berharap pendengaranku salah.

Alea berharap kalimat itu hanyalah omong kosong.

Tapi semua itu hanya harapan karena nyatanya semuanya terlampau jelas.

Rasanya hancur. Tidak tau harus mulai menata dari mana.

Yang  Alea tahu, ia harus bergerak sejauh mungkin dari ruangan sialan itu. Ah bukan ruangannya, orang-orang didalamnya.

Kakinya terus berjalan cepat melewati koridor sekolah, menaiki tangga demi tangga hingga sampai di lantai tiga. Tujuannya saat ini hanya satu, balkon aula lama yang mengarah ke jalan raya.

Air matanya pecah begitu saja saat sudah duduk di salah satu kursi tua di balkon itu. Kepalanya terbenam diatas tangan yang ia lipat di dinding pembatas, bahunya bergetar dan menangis sejadinya disana.

Rasanya sesak sekali. Sesak sampai Alea sulit bernafas.

Kepala gadis itu dengan tidak sopannya memutar momen singkat bersama Wooyoung seperti kaset rusak yang terus berulang. Kantin, toko buku, makan, donat, bahkan pesan-pesan bodohnya yang tidak penting.

Kepalanya pening, memori itu terus terulang tak peduli sesakit apa kenyataan yang  iahadapi saat ini.

Dadanya semakin nyeri saat egoku terus membisikkan bahwa harusnya dialah yang ada disana. Bahwa ia lah yang harusnya menang atas hati lelaki itu. Bahwa dia tidak seharusnya bersama perempuan lain.

Padahal jika diputar kembali, Alea yang salah disini. Terlalu berharap. Berharap rasanya dibalas. Alea terbang terlalu tinggi karena merasa Wooyoung sudah memberi harapan, yang pada kenyataannya dia tidak pernah memberi harapan apapun.

Cukup. Kepalanya makin pusing.

Perlahan aku mengangkat kepala. Menarik nafas dalam dan mencoba mengisi paru-paru dengan banyak oksigen agar lebih rileks meskipun masih sesenggukan tak karuan.

"Air matanya udah abis?"

Alea tersentak kaget mendengar suara itu. Refleks, ia menoleh cepat ke belakangnya.

Itu Yunho, sedang bersandar di pintu balkon.

"Sejak kapan lo disitu?" Tanya Alea

Yunho terlihat pura-pura berpikir, "Hmm ... sejak lo nangis mungkin?" Katanya, lalu bergerak mengambil kursi dan menggesernya ke samping Alea lalu duduk disana.

"Lo nggak sadar ya tadi ngelewatin gue di depan ruang basket?" Tanyanya. Alea diam tak menjawab. Mana ia ingat? Ia hanya fokus pada tujuannya.

"Tadi gue liat lo kaya lagi nggak baik-baik aja, jadi ya ... gue ikutin kesini. Sorry kalo lo nggak nyaman," lanjutnya.

"Nggak apa-apa." 

Tak ada pembicaraan lagi setelah itu. Keduanya diam cukup lama. Alea dan Yunho tidak sedekat itu untuk tiba-tiba duduk bersama dan mengobrol dekat.

Jadi yang mereka lakukan adalah diam, menatap lurus memandang jauh entah kemana. Sibuk bergelut dengan pikiran masing-masing. Bahu Alea masih naik turun dan mengatur nafas sebaik mungkin, hingga akhirnya Alea terlihat lebih baik, Yunho baru membuka suara.

"Gue nggak tau apa yang baru aja lo hadapi tapi gue yakin itu pasti berat banget buat lo sampe nangis segitunya. Dejun juga pernah cerita katanya lo itu cewek yang kuat mau dibanting kaya apa juga," kata Yungo dengan mata yang masih lurus kedepan.

Alea tersenyum miring mendengar itu, "Gue nggak sekuat itu, No."

Yunho tersenyum samar, "Gue bilang gini bukan biar lo tetap kuat, justru lo boleh lemah. Lo boleh nangis. Lo nggak harus selalu menakjubkan dan nggak harus selalu menang."

My Way: Jung Wooyoung [UNDER CONSTRUCTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang