Shana heran dengan tingkah Meru tadi. Mengapa Meru sangat menentang idenya. Tidak ada yang salah dari ide yang ia sarankan. Tapi kenapa Meru sangat marah.
Shana menghembuskan nafas dengan cepat menahan kekesalan. Matanya sekarang memancarkan amarah. Dia terus bergumam tak jelas, menendang kerikil dijalanan. Ia tak peduli jika orang menganggapnya gila. Toh, memang benar ia jadi gila karena Meru.
Shana terus menendang kerikil di jalan, karena terlalu kuat menendang ia kehilangan keseimbangan. Menyebabkan dirinya oleng ke kiri dan terjerembab di jalan.
"Aduh.." ia meringis merasakan perih di kakinya.
Ia melihat lutut dan tangannya yang tergores. Lututnya mulai mengeluarkan darah. Shana meringis merasakan perih dari luka itu.
"Neng, kenapa duduk di jalan? Udah bosen duduk di bangku sekolah," tiba-tiba ada suara dibelakang tubuhnya.
"Siapa yang mau duduk di jalan? saya tadi jatuh ini lutut saya berdarah," jawab Shana tanpa menengok ke belakang.
"Oh begitu, kalo gitu saya bantu, Neng," sebuah tangan terulur kearahnya. "Eh, gak usah gak pa-pa saya bisa sendiri."
Ia akan bangkit namun nyeri di lututnya membuatnya kembali terduduk.
"Keras kepala banget, sih!" Shana terkejut karena Meru sedang berjongkok di sebelahnya melihat luka di lututnya.
"Kenapa ceroboh banget sih, lo," ujar Meru membersihkan lututnya dari kotoran agar tidak terinfeksi.
"Ayo cepet bangun terus bersihin luka lo," ujar Meru mengulurkan tangannya untuk membantu Shana. Namun Shana hanya diam memandanginya.
"Malah bengong, cepet bangun." Akhirnya Meru menarik tangan Shana membantunya berjalan ke arah minimarket dekat stasiun.
"Lo tunggu disini gue beli obat dulu," titah Meru. Setelah mendudukan Shana di depan minimarket, Meru segera memasuki minimarket.
Tak lama kemudian Meru keluar dengan membawa kantung plastik berisi obat luka dan perban.
Meru membersihkan luka Shana dengan air mineral yang ia beli. Kemudian memberi obat luka dan terkahir menutupnya dengan perban.
Shana memerhatikan Meru yang sangat teliti mengobati lukanya. Dengan wajah yang serius membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. Hidungnya yang mancung matanya yang sipit dan panjang. Jangan lupakan kulit sawo matang yang di miliki menjadi poin tambahan bagi Meru.
Shana menggelengkan kepalanya berulang kali. Menyingkirkan pikirannya tadi. Sepertinya otaknya sedang tidak beres. Mengapa ia menyebut Meru tampan.
"Kenapa lo geleng-geleng kepala? Kepala lo sakit?" tanya Meru memegang dahi Shana membuat Shana salah tingkah. "Nggak kok."
Segera menyingkirkan tangan Meru dari dahinya. Ia merasa malu ditatap Meru sedekat ini. Padahal sebelumnya ia tidak pernah merasakan hal ini. Ada apa dengan dirinya?
"Nih, minum dulu," ucap Meru memberikan sekaleng soda kepadanya. Shana segera membuka dan meminumnya karena memang dia sangat haus sekarang.
Kini mereka di landa keheningan. Hanya suara kendaraan lewat yang terdengar.
"Shana__"
"Meru__"
Ucap mereka bersamaan. Seketika mereka tertawa. "Lo duluan."
"Mmm.... Makasih ya udah mau nolongin aku, kalo gak ada kamu mungkin aku lagi jalan terpogoh-pogoh," ucap Shana tertunduk.
"Gue juga mau minta maaf sama lo," ada jeda di kalimatnya, "waktu di warung es kelapa gue udah bentak lo padahal lo gak salah. Dan tadi gue juga udah bentak lo,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable
Teen Fiction(TAMAT) Shana selalu di tindas Sandra ketika dirinya pertama kali masuk sekolah ini. Padahal dia tak pernah mengenal Sandra. Hingga dirinya bertemu dengan Naya dan Meru yang membantunya. Siapa sangka pertemuan mereka mengungkap sebuah rahasia di ant...