30. Terbongkar

18 4 0
                                    

Kini Revan tengah berada di ruangan Shana bersama Naya yang berada di kursi roda. Mereka kini sedang berada tepat di depan Shana.

"Shana..." Naya menutup mulutnya ketika melihat kondisi Shana. Banyak luka di wajah dan tubuhnya serta Shana yang sedang mencari-cari keberadaan dirinya.

"Naya? Kamu di mana?" Shana meraba-raba udara sekitar berusaha menggapai wajah Naya.

"Gue di sini." Tangannya menuntun Shana memegang wajahnya. "Gue minta maaf."

"Kenapa kamu minta maaf?"

"Kalo lo gak denger percakapan kemarin, lo gak akan mengalami kecelakaan." Naya merasa sangat bersalah kepada Shana. "Ini bukan salah kamu. Takdir yang menentukan nasibku, Nay. Kami bukan orang yang menyebabkan semua ini. Ini sudah di atur."

Naya menangis, bagaimana mungkin Shana masih bisa tersenyum di saat seperti ini. Ketika dirinya di vonis kanker ia sempat menyerah dengan kehidupan, tapi Shana dia masih tetap tersenyum.

"Aku harap, kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ini memang sudah menjadi takdir buatku."

***

"Keadaan lo gimana sekarang?"

"Kaki gue semakin sering sakit dan kadang dada gue sakit."

"Terus gimana kata dokter?" Meru memberikan jeruk yang sudah di kupas kepada Naya.

"Dokter bilang tunggu hasil CT-scan baru bisa di lihat progeresnya." Meru mengannguk ia berdoa agar sahabat tercintanya cepat sembuh.

"Lo udah tahu gimana keadaan Shana?" Meru bertanya memastikan. "Iya, kemarin Revan bantu gue buat jengukin Shana. Gue merasa bersalah banget. Kalo aja dia gak denger mungkin gak akan kaya gini."

Meru mengelus pucuk kepala Naya "Ini bukan salah lo, Naya sebenarnya di culik Sandra terus dia berhasil lolos dan di tabrak truk. Ini udah jadi takdir, Nay"

Naya masih saja menyalahkan dirinya karena peristiwa yang menimpa Shana. "Udah Nay, ini bukan salah lo. Lebih baik kita selalu mendukung dan menemani Shana."

"Lo kok, tumben bijak. Biasanya pecicilan, kena jin dimana?" Naya sudah kembali menjadi dirinya sendiri. "Lo, ya. Gue bijak masih di hujat, gue salah tambah di hujat. Emang gak pernah bener gue di mata lo." Tangannya bergerak menoyor kepala Naya.

"Lo, kasar banget sih sama cewe. Emang lo, gak ada bagus-bagusnya di mata gue."

"Karena di mata lo cuma ada..."

"Ada apa? Hah. " Naya langsung memotong ucapan Meru.

"Ada kucing," jawab Meru asal.

"Besok Shana keluar dari rumah sakit. Gue sama Vano rencananya mau jenguk dia di rumah. Kira-kira lo bisa gak ikut?"

"Sejak kapan lo sama Vero deket gini. Cie.. udah baikan."

Naya mulai meledek Meru. Sudah lama pertemanan mereka rusak karena dirinya. Naya senang sekarang Meru dan Vero bisa berteman kembali.

"Emang lo pikir kita ini mantan pacar yang balikan? Bahasa lo, tolong diperbaiki ya."

Meru kesal bagaimana mungkin ia bisa balikan dengan Vero. Mereka bukan sepasang kekasih yang telah kandas hubungannya.

"Iya, iya, sejak kapan lo akur lagi sama Vero?" Naya segera memperbaiki perkataannya sebelum Meru marah.

"Gue juga gak tahu. Tapi setelah lo sama Shana masuk rumah sakit kita jadi sering ketemu."

"Gue harap lo bisa berteman lagi sama Vero. Bagaimanapun lo sama Vero adalah teman jadi gue mau kalian bisa kembali kaya dulu."

Naya tersenyum dan di balas Meru dengan senyuman manisnya. Meru akan berusaha menepati janjinya. Ia akan kembali berteman dengan Vero.

"Soal Shana, kayanya gue gak bisa ikut. Kata dokter mereka harus memantau kondisi gue sampai operasi."

"Semoga operasinya berjalan dengan lancar dan lo cepet sembuh."

Naya tersenyum dan mengangguk. Ia beruntung karena bertemu Meru saat itu. Jika ia tidak bertemu mungkin dirinya tak akan bisa bertahan sampai sekarang.

"Terima kasih, lo udah mau nemenin gue sampai sekarang. Walaupun awalnya gue gak suka sama lo karena sok ikut campur. Tapi karena semua itu gue bisa bertemu orang-orang yang emang tulus sama gue"

"Jangan bikin gue baper gini, dong. Gue janji gue akan nemenin lo sampai akhir nanti."

"Apaan sih lo, baperan banget jadi orang" sembari meninju pelan lengan Meru.

Meru tertawa kecil "Lo harus berjuang melawan kanker itu kalahin dia demi kita semua."

"Siapa yang kena kanker?"

Tiba-tiba Revan datang dan langsung menghampiri Naya dan Meru.

"Siapa yang kena kanker?! Jawab!" Kini Revan tengah berdiri di antara Meru dan Naya.

"Jawab, Nay. Bukan kamu kan?" Naya masih saja diam. "Bukan kamu kan, Nay?" Revan mengguncang kedua bahu Naya.

"Lo, gak bisa kaya gitu, Van. Lepasin!" Meru menarik Revan agar melepaskan kedua bahu Naya.

"Aku tanya, apa kamu kena kanker?" Revan bertanya dengan mata yang menunjukan keseriusannya.

"Iya" cicit Naya. "Sejak kapan?" Kini Revan mulai melunak.

"Satu tahun yang lalu"

Sudah setahun dan dia tak tahu mengenai ini. Bagaimana mungkin  Naya bisa menyembunyikan semua selama ini.

"Kenapa kamu gak kasih tahu aku"

Naya hanya menggeleng, ia tak mungkin memberi tahu alasannya selama ini.

"Lo tahu Naya kena kanker?" Revan bertanya pada Meru.

Meru hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Sejak kapan?"

"Setahun yang lalu"

Revan merasa ia menjadi orang bodoh di antara mereka. Meru tahu masalah ini sedangkan dia tidak. Kenapa Naya melakukan ini kepadanya.

"Kenapa lo gak kasih tahu gue? Lo selama ini anggap gue apa?!" Revan mencengkram kerah baju Meru.

"Vano, lepas! Meru gak salah, gue yang suruh dia buat gak kasih tahu lo."

Revan segera melepaskan cengkramannya. "Jadi ini yang buat lo bela Naya?"

"Gue ngerasa jadi orang bodoh karena merasa gue korban di sini yang tersakiti di sini. Tapi sebenarnya Naya juga__" Revan tidak bisa melanjutkan pembicaraannya.

"Gue emang jahat di sini. Meru gak bersalah. Lo bisa hukum gue semau lo," ujar Naya.

"Selama ini, aku selalu jujur sama kamu tapi kenapa hal sebesar ini kamu tutupi? Kamu anggap aku apa selama ini?"

Naya hanya diam. Ia tak mampu menatap wajah Revan yang sedang marah.

"Dan lo" tunjuknya pada Meru. "Lo sahabat gue, kenapa lo sembunyiin semua ini dan merusak persahabatan kita karena salah paham!"

"Meru gak salah, gue yang suruh dia," ujar Naya.

"Kenapa kamu belain Meru? Apa sekarang kalian pacaran?"

Naya hanya diam.

"Udah aku duga selama ini gak mungkin kalo kamu masih suka aku. Aku aja yang bodoh selama ini masih mengharapkan kamu. Tapi sekarang aku udah tahu, di hati kamu aku udah gak ada artinya lagi. Kalo gitu, aku lepaskan kamu bahagialah dengan dia." Setelah itu Revan pergi dari ruangan Naya.

"Vano! Vano, tunggu!" Naya ingin mengejar Vano tapi kakinya merasaka sakit kembali dan hidungnya mulai mengeluarkan darah.

"Naya, stop! Lo mimisan. Gue panggil dokter dulu."

Naya kini menangis karena membuat Vano merasa tersakiti untuk kedua kalinya. Dirinya menjadi penyebab semua ini, jika ia berkata jujur mungkin semua ini tidak akan terjadi dan tidak ada yang tersakiti.

"Vano..."

***

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang