38. Mengungkap Rahasia

14 3 3
                                    

"Ayah ada yang ingin Shana bicarakan." Shana langsung masuk ke dalam ruang kerja Ayahnya tanpa mengetuk terlebih dahulu.

"Apa yang perlu dibicarakan?" tanya Lesmana dan menurunkan kacamata yang bertengger di hidungnya.

"Ayah bisa jelasin siapa anak yang di gendong Ayah?" ujar Shana sembari memberikan selembar foto seorang Ayah yang menggendong dua orang putri.

Lesmana memperhatikan dengan seksama foto tersebut. Matanya langsung terbelalak ketika melihat foto tersebut.

"Di sebelah kanan adalah Shana dan di sebelah kiri adalah Naya, kan?"

Lesmana sudah menduga cepat atau lambat Shana akan menanyakan perihal ini kepada dirinya. "Kamu duduk dulu biar Ayah jelaskan."

Shana pun duduk di sofa di dalam ruangan itu.

"Kamu benar anak yang ada di foto itu adalah kamu dan Anaya. Kalian adalah saudara kembar," ujar Lesmana.

"Lalu, kenapa Ayah menyembunyikan semua fakta ini?"

"Ayah dan Susan Ibu kandungmu dulu di jodohkan dan kalian pun lahir. Tapi karena tidak ada kecocokan di antara kami, Kita memutuskan berpisah ketika kalian berusia satu tahun." Lesmana menjeda perkataannya dan menghirup udara sejenak.

"Hak asuh berada di tangan Ibu kalian tapi kita sepakat jika salah satu dari kalian akan Ayah asuh. Ayah memutuskan membawa kamu Shana."

"Lalu kenapa Ayah tidak pernah mempertemukan aku dan Ibu?"

Lesmana menghela nafas pelan. "Ini salah Ayah. Jika Ayah tak menyetujui permintaan Ibumu mungkin kalian bisa bertemu. Ketika kita berpisah kita sepakat agar tidak mencampuri urusan masing-masing dan melupakan semua yang pernah terjadi."

Shana memalingkan wajahnya ia tak menyangka jika Ayahnya merahasiakan hal sebesar ini. Merahasiakan keberadaan Ibu dan saudara kandungnya sendiri. Shana tak habis pikir dengan kedua orang tuanya.

"Jadi ketika kita berpisah, kita pergi menjalani kehidupan masing-masing tanpa di bayangi masa lalu," ujar Lesmana menatap Shana yang kini tak mau memandangnya.

"Tapi kalian gak bisa memisahkan aku dan Naya!" ucap Shana merasa muak dengan fakta ini.

"Ayah tahu, akibat perbuatan kalian. Aku gak bisa ucapin selamat tinggal kepada Naya sebelum dirinya pergi. Bahkan aku gak tahu jika Naya adalah adikku."

Shana tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi di pendam. Ia meneteskan air mata di pipi mulus itu.

"Maafkan Ayah, Ayah gagal menjadi orang tua yang baik untuk kamu dan Naya," ujar Lesamana menggenggam tangan anaknya.

"Ayah tahu selama ini Naya hidup tanpa kasih sayang seorang ayah. Shana gak bisa membayangkan jika itu terjadi kepada Shana. Hidup Naya pasti sangat menderita."

"Ayah tahu, Ayah sangat menyesal atas semua ini. Kamu boleh membenci Ayah, Ayah memang pantas mendapatkan itu," ujar Lesmana lirih.

Shana memandang kembali Ayahnya yang sedang berlutut di hadapannya. Ia tak tega melihat Ayahnya seperti ini.

"Shana gak mungkin membenci Ayah, Shana hanya kecewa dengan semua kenyataan ini. Mungkin ini sudah menjadi takdir dari Tuhan." Shana menuntun sang Ayah agar duduk kembali tidak berlutut di hadapannya.

"Seharusnya kamu benci Ayah. Ayah gak pantas dimaafkan."

"Ayah sudah banyak berjasa di hidup Shana. Membesarkan Shana membiayai semua kebutuhan Shana. Ayah gak pantas untuk di benci siapapun. Ayah adalah Ayah yang terbaik," ujar Shana memeluk erat Lesmana.

Lesmana mengelus punggung sang putri pelan. Ia merasa bersalah telah memisahkan Shana dan Naya. "Maafkan Ayah."

Shana mengangguk di pundak sang Ayah. Ia harus mengikhlaskan hal yang telah terjadi. Ia tak bisa menyalahkan siapapun. Disini semua orang adalah korban dari keegoisan pribadi tak ada yang bisa di salahkan. Intropeksi diri adalah kuncinya.

"Antar Shana bertemu Ibu, Yah."

***

Susan tengah memperhatikan sebuah foto usang. Terlihat dari warna foto yang mulai pudar. Di foto itu terlihat dua bayi mungil sedang tertidur. Di usap foto itu lembut seolah foto itu akan rusak jika tergores.

Susan tahu apa yang dilakukannya di masa lalu tidaklah benar. Tapi ia melakukan semua ini demi kedua putrinya. Ia tak ingin kedua putrinya tahu perselisihannya dengan Lesmana. Ia tak ingin putrinya tumbuh dengan keluarga yang berantakan.

Perpisahan dirinya dengan Lesmana adalah jalan satu-satunya agar terbebas dari belenggu yang menjerat mereka. Walaupun berdampak pada kedua putri mereka.

"Maaf, maafkan Ibu, Nak."

"Bu, maaf mengganggu. Di luar ada yang mencari Ibu," ujar Mbak Rin.

"Siapa, Rin?"

"Sepertinya teman Ana dan Laki-laki. Tapi kayanya laki-laki itu seumuran dengan Ibu," jawab Mbak Rin.

Susan tahu siapa yang datang. "Baiklah bawa ke atas dan siapkan minuman serta beberapa kue."

"Baik, Bu." Susan menyiapkan dirinya terlebih dahulu. "Hari ini pasti akan datang juga" pikirnya. Ia sudah siap dengan semua konsekuensi yang akan terjadi.

***

"Kamu gugup?" tanya Lesmana karena Shana terus-menerus menggigiti kuku tangannya.

"Ya? jawab Shana. "Kamu gugup?" Lesmana mengulang pertanyaannya.

"Shana hanya takut jika Ibu sudah lupa dengan Shana," lirihnya.

Lesmana memandang anaknya iba. Ia merasa bersalah karena telah memisahkan ibu dan anak selama ini.

"Kamu gak usah takut. Ibu pasti senang kamu datang, dia sama merindukan putrinya. Jangan khawatir," tutur Lesmana sembari merangkul bahu Shana berusaha menenangkan putrinya.

"Maaf menunggu." Suara itu mengintrupsi Lesmana dan Shana.

"Ibu... " Shana segera memeluk Susan begitu mereka bertatapan. "Iya, Nak ini Ibu."

"Maafkan Ibu, Nak selama ini tak pernah menemuimu. Maafkan Ibu," ungkap Susan dengan air mata melinang di pipinya.

"Ibu jangan nangis, Shana mengerti ini semua demi kebaikan kita," ujar Shana.

"Maafkan Ibu telah memisahkan kalian berdua. Tak sepantasnya kamu memanggil Ibu."

Shana menggeleng. "Gak, Bu. Ibu tetap Ibu Shana, yang melahirkan Shana dan Naya. Ibu gak boleh bicara seperti itu."

"Tapi Ibu yang memisahkan kalian."

"Shana mengerti alasan Ibu dan Ayah melakukan semua ini. Mungkin memang takdir kita seperti ini," ujar Shana dengan senyum yang tulus.

Susan kagum dengan putrinya ini. Betapa besar hatinya menerima semua yang telah terjadi kepadanya.

Shana tumbuh menjadi wanita yang kuat dan tegar. Susan bangga dengan putrinya. Ia menyesal tidak bisa melihat pertumbuhan Shana menjadi wanita setegar ini.

"Sekarang Shana harap kita semua berbahagia, lupakan masa lalu yang kelam dan buat masa depan yang cerah." Susan dan Lesmana mengannguk setuju.

Setelah duka yang mereka alami, kini mereka harus membangun kehidupan yang lebih baik.Bersama menciptakan kenangan indah untuk di kenang di masa yang akan datang.

***

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang