24. Mencari Kebenaran

13 2 0
                                    

Sudah berapa kali ia melirik jam ditangannya. Malam telah tiba, tapi orang itu tak kunjung nampak.

Sudah lama ia menunggu momen ini tiba. Ia jadi sangat bersemangat. Tapi orang yang ia tunggu tak datang-datang.

Hhh, akankah ia datang?

Suara langkah kaki membuat ia menengok. Perempuan cantik sedang berjalan di trotoar. Pandangan kosong, seperti memikirkan sesuatu.

Dirinya mendekat ia menunggu sampai perempuan itu mendongak dan menatap.

Bruk

Perempuan itu menubruknya.

"Hai Shana. Sudah lama gak ketemu." Dirinya menyunggingkan senyum.

Mata Shana membola, ia terkejut.

"Vero? Kok kamu ada disini?" Shana tak percaya jika dihadapannya Vero sedang menatapnya dengan senyuman diwajahnya.

"Kejutan! Gimana, kamu suka?" Vero langsung memeluk tubuh mungil Shana. Shana masih terkejut dengan kedatangan Vero yang tiba-tiba.

"Kamu kayanya gak suka ya, kalo aku datang?" Shana menggeleng ia hanya masih terkejut dengan kedatangan Vero apalagi sebelumnya dia mendapat kejutan lainnya.

"Gak kok, aku seneng kamu di sini. Gimana kamu bisa ada disini?"

"Orang tua aku ada urusan di sini jadi aku ikut mereka," jelas Vero.

"Berapa lama kamu di sini?" Mereka kini duduk di taman komplek. "Gak tahu, sampai urusan orang tuaku selesai."

"Selamat ulang tahun Shana," ucap Vero sembari memberikan sebuah kado.

"Terima kasih, kamu masih ingat ya." Shana menerima kado itu. "Aku gak akan pernah lupa," Vero mengacak rambut Shana.

"Buka dong, aku mau lihat kamu pake hadiah dariku." Shana membuka kado itu. Ia terkejut melihat sebuah kalung dengan liontin berbentuk matahari.

"Wah, ini bagus banget. Makasih Vero." Shana segera memakainya.

"Kenapa matahari?" Shana bertanya. "Matahari adalah lambang kecerian dan kehidupan. Kamu adalah kehidupanku."

Shana merasa aneh ketika Veeo mengucapkan itu. Dia dulu sangat menyukai Vero tapi setelah mendengar perkataan Vero ia merasa biasa saja. Padahal dulu ia sangat berdebar jika dekat dengan Vero.

"Makasih, aku suka," ucap Shana memaksakan senyumnya.

***

Shana sedang menunggu seseorang disini. Ia harus memastikan sesuatu.

"Hai, udah lama ya? Maaf di jalan macet," ujar Revan. "Belum lama kok, duduk dulu terus pesen aja."

"Tumben kamu ajak aku ketemu, ada apa?" Revan membuka percakapan.

"Ada yang mau aku tanyakan." Shana menjeda kalimatnya. "Aku mau tanya, kamu itu mantan Naya?"

Revan sudah menduga Shana akan menanyakan perihal ini. Semenjak ia datang ke rumah Naya pasti Shana merasa janggal.

"Iya, kita dulu pacaran kelas 10," jawab Revan. "Kamu tahu alasan Naya putusin kamu?" Revan hanya menggeleng ia pun tak tahu alasan sebenarnya.

"Tapi waktu aku putus dengan Naya, Meru bilang kalo yang dilakukan Naya demi kebaikan semua orang. Aku juga bingung apa maksud perkataan Meru," jelas Revan.

"Kenapa Meru bisa tahu?"

"Aku udah tanya, tapi Meru gak pernah jawab dia selalu bilang ini semua demi kebaikan Naya juga."

"Lalu, kenapa kamu dan Meru menjauh?"

Revan menhirup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia butuh kekuatan untuk menceritakannya.

"Walaupun aku dan Naya udah putus kita masih sekelas. Aku masih berusaha mendekati Naya, pernah suatu hari aku maksa Naya buat kita balikan lagi. Meru liat kejadian itu, dia marah. Dia bilang aku dan Naya gak akan bisa kembali." Revan diam sejenak.

"Aku gak terima Meru belain Naya. Aku di sini korbannya tapi kenapa Meru belain Naya yang notabennya bukan siapa-siapa dari pada aku yang udah jelas sahabatnya." Revan menghirup oksigen sebanyak mungkin.

"Dia tahu aku yang disakiti di sini, tapi Meru bilang kalo Naya lebih sakit lagi. Padahal Naya yang mutusin aku."

"Meru dan Naya gak pernah deket, tapi Meru membela Naya seolah aku yang salah disini. Naya memilih Meru dan mereka pergi gitu aja."

"Aku berusaha agar Naya mau memberikan alasannya, tapi lagi-lagi Meru selalu menghalangi."

"Tapi setahuku Naya selalu menolak Meru ketika Meru mendekatinya. Tapi kenapa sekarang mereka dekat?" Shana bertanya.

"Aku juga heran, sepertinya memang ada yang disembunyikan di antara mereka."

"Apa mungkin Meru suka Naya?" Seolah di sambar petir. Shana merasa sakit ketika mendengar pertanyaan itu.

***

Darah tak berhenti mengalir dari hidung mancungnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya mulai membengkak dan pucat serta mata memerah. Ia kini telah selesai menjalani kemoterapi. Ia sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini. Sebisa mungkin ia harus menahan rasa sakit ini.

"Hanya sebentar, kumohon." batinnya. Ia segera keluar kamar mandi.

"Minggu depan jangan lupa datang lagi, obatnya jangan lupa di minum. Kalau kaki kamu sering sakit cepat konsultasikan. Saya takut mereka menyebar ke bagian yang lain," jelas dokter itu.

"Iya Dok, kalau boleh saya tahu. Apa saya bisa sembuh?"

"Untuk sekarang lebih baik fokus saja dipengobatan ini. Saya tidak bisa menjamin kesembuhan anda mengingat sekarang sudah memasuki stadium tiga. Tapi anda tidak boleh patah semangat anda pasti bisa sembuh, di luar sana banyak pasien yang bisa sembuh. Anda pasti bisa."

Ia tersenyum tipis "Terima kasih, Dok."

"Kapan kira-kira kamu akan mengambil tindakan operasi?"

"Masih saya pikirkan, kalo begitu saya permisi." Ia beranjak dari kursi itu dan pergi.

Ia memandang sebuah foto di ponselnya.

"Apa yang harus aku lakukan? Bisakah aku mencintaimu?" Air matanya kini mengalir membasahi pipi.

***

"Sebentar lagi, ku mohon jangan pergi." Pria itu terus memegang tangan seorang wanita.

"Selamat tinggal, aku harap kamu bahagia." Wanita itu tersenyum.

"Gak! Jangan pergi!" Pria itu masih menahannya.

"Maafkan aku, ini demi kebaikan kita semua." Setelah itu hanya cahaya putih yang terlihat.

Meru segera bangun dari tidurnya. Mimpi tadi seperti nyata. Degup jantungnya pun berdetak kencang. Firasat Meru tidak enak sepertinya akan terjadi sesuatu.

***

Dirgahayu Republik Indonesia yang Ke-75

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang