"Ayo Shan ke sini," ujar Meru melambaikan tangannya agar Shana mendekat.
"Aku belum siap, Meru," ungkapnya.
"Sampai kapan pun kamu gak akan siap, jadi ini kesempatan kamu. Cepat ke sini."
"Tapi.." Meru segera menarik tangan Shana. "Sekarang semuanya ada di depan kamu," ujar Meru.
Shana tampak diam membisu. Ia merasa sesak ketika melihat tulisan di batu nisan itu.
"Sapa dia Shan," titah Meru.
Shana perlahan mulai mendekati makam itu. Ia bersimpuh di sebelah Meru.
"Ha-hai, apa kabar?" sapanya dengan kaku. Ia masih belum percaya dirinya berada di sini. Meru tahu Shana sangat tegang ia segera menggenggam tangan Shana lembut.
"Maaf, a-aku baru datang," ujarnya terbata-bata. "Bukan karena aku lupa, tapi karena rasa bersalah yang selama ini.." Shana menghirup udara sejenak. Ia harus menahan emosinya.
"Aku sangat, sangat, sangat menyesal karena kamu pergi tanpa pamit. Kamu janji akan menemaniku, tapi kamu bohong."
"Kamu bilang kamu pergi untuk kebaikan semua orang. Ketika kamu pergi kesedihan yang melingkupi kami, kenapa kamu pergi seperti ini." Shana berusaha menahan isakannya.
"Kamu kasih mata untuk membuat aku bahagia, kan? Tapi aku gak bahagia, karena kamu harus pergi demi mata ini. Aku lebih pilih gak bisa melihat daripada kamu yang pergi."
"Kamu jahat tahu gak? Kamu pergi tinggalin Kakak kamu tanpa pamit. Adik macam apa kamu," ucapnya memukul batu nisan tersebut.
"Kamu bilang akan menjadi bulan untuk matahari. Menemani matahari menyinari dunia ini. Tapi sekarang bulan itu redup tanpa cahaya. Matahari kesepian dia bingung apa yang harus dilakukan. Kenapa kamu seperti ini?"
"Andai waktu bisa di ulang. Aku mau kita menghabiskan waktu lebih banyak lagi tanpa peduli orang lain akan menentang. Menciptakan memori yang tak akan terlupakan. Menikmati bentuk dunia dengan cara yang berbeda. Menatap senja yang berbeda setia harinya. Andaikan, andaikan kata ini mengabulkannya. Andaikan.."
Shana tak bisa lagi menahan air matanya. Ia tumpahkan semua di sini di depan tempat sang adik beristirahat untuk selamanya.
"Maafkan aku, gak bisa mewujudkannya bersama." Shana menyeka air matanya.
"Dan terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku."
***
"Kamu bener, memaafkan masa lalu adalah jalan keluarnya," ujar Shana menatap matahari yang akan terbenam di danau ini.
Meru tersenyum melihat sang kekasih terlihat lebih baik dari sebelumnya. Wajahnya terkena cahaya dari sang pelita membuat kecantikannya bertambah.
"Sekarang kamu hanya perlu menata masa depan kamu dan hidup bahagia," ujar Meru mengelus rambut Shana.
"Dan aku mau kamu bantu menata masa depanku. Kamu mau, kan?" Shana menatap mata Meru dalam.
Meru menganggukan kepalanya, "Pasti, kamu dan aku akan membuat masa depan yang indah."
Shana tersenyum mendengar penuturan Meru. Di bawah senja ini ia berjanji akan hidup lebih baik kedepannya bersama orang di sampingnya.
"Loh, kok kamu punya itu?" tunjuk Shana pada kunci mobil yang Meru pegang.
"Kamu lupa kalo tadi kita naik mobil, pasti punya dong kuncinya."
"Bukan kuncinya tapi gantungan itu. Kenapa ada di kamu?" tanya Shana.
"Naya yang kasih ini buat aku. Dia bilang aku harus jadi bulan untuk matahari yang kesepian. Menemani matahari di malam yang sunyi. Menyinari dunia di gelapnya malam," jelas Meru.
Shana tersenyum ia tak menyangka jika Naya telah memberikan hadiah terindah di hidupnya. Seorang yang akan menjadi cahaya di kegelapan. Seseorang yang akan menemaninya hingga takdir memisahkan.
***
Sampai di sini cerita Ineffable
Terima kasih buat para pembaca yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita saya yang jauh dari kata sempurnaTerima kasih juga untuk kritik dan saran yang membangun selama ini
Nantikan juga cerita terbaru dari saya
Semoga kalian menyukai cerita baru saya
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable
Teen Fiction(TAMAT) Shana selalu di tindas Sandra ketika dirinya pertama kali masuk sekolah ini. Padahal dia tak pernah mengenal Sandra. Hingga dirinya bertemu dengan Naya dan Meru yang membantunya. Siapa sangka pertemuan mereka mengungkap sebuah rahasia di ant...