17. Bulan dan Matahari

19 5 0
                                    

Naya kini berada di kelas yang masih sepi. Masih jam enam pagi, namun ia sudah berada di kelas.

Semalam ia tidak bisa tidur karena perkataan Meru. Tak seharusnya Meru mengatakan itu, dia tahu resiko apa yang dia akan alami. Namun tetap saja kata itu terucap.

Apa yang harus Naya lakukan sekarang? Ia tak ingin menyakiti persaan orang lagi. Tapi, ia tak boleh egois. Kali ini ia harus lebih tegas jika tak ingin penyesalan yang kedua kali.

"Naya." Suara itu mengalihkan atensi Naya. "Kamu dari mana kemarin?" Naya hanya melihat Shana dengan dahi berlipat.

"Aku khawatir kamu sama Meru gak balik lagi ke kelas. Apalagi liat kamu nangis sebelumnya, aku khawatir tahu." Shana berkata dengan serius. Ekspresi wajahnya pun nampak sangat cemas.

Ia heran dengan Shana. Ia selalu kasar kepadanya, tapi Shana begitu mengkhatirkannya. Mengapa ia sedih melihat wajah Shana yang tampak sedih.

"Gue gak kenapa-kenapa kok, cuma lagi sensitif aja karena datang bulan," jawabnya berbohong.

"Terus kenapa kamu gak balik ke kelas? Meru juga gak balik." Shana masih bertanya.

"Gue pulang, soalnya gue tembus, Meru dateng bantuin gue ya udah sekalian bolos aja." Sekali lagi ia berbohong.

"Syukurlah kamu gak kenapa-kenapa. Aku khawatir banget. Aku juga gak tau kenapa aku khawatir banget apalagi liat kamu nangis, hati aku juga ngerasa sakit."

"Oh iya, aku mau kasih kamu sesuatu." Shana merogoh tasnya.

"Aku mau kasih ini semoga kamu suka." Shana memberikan sesuatu kepada Naya.

"Gantungan kunci?" Shana mengangguk. "Kamu pegang satu, aku juga pegang satu," ucapnya sembari menunjukan gantungan yang terpasang di tas sekolahnya.

"Kenapa bulan?" Naya bertanya sembari melihat gantungan berbentuk bulan itu.

"Bulan dan matahari bagaikan Ying dan Yang, mereka saling berlawanan, namun saling membutuhkan. Matahari adalah sisi terang kehidupan seseorang dan Bulan adalah sisi gelap seseorang."

"Jadi maksud lo, gue orang jahat." Naya menyela ucapan Shana.

"Bukan begitu. Bulan memang memiliki sifat gelap tapi Bulan selalu bersama Matahari yang memiliki sisi terangnya. Aku mau kita saling bergantung, apapun masalahnya kamu bisa mengandalkan aku begitupun sebaliknya."

"Kamu udah tolong aku dari Sandra. Kamu udah membawa aku keluar dari gelapnya duniaku. Aku juga mau kamu keluar dari gelapnya dunia dan bisa bersinar bersama."

Naya tersentuh dengan ucapan Shana. Ia adalah bulan yang kesepian di malam yang gelap dan dingin. Ia seharusnya keluar dari ruang gelap dan menyinari kegelapan bukan tenggelam di kegelapan.

"Matahari yang sebesar itu saja butuh Bulan untuk menerangi seluruh penjuru di Bumi. Dan Bulan membutuhkan Matahari agar ia tetap bersinar. Aku harap kamu jangan sungkan lagi kita bisa jadi teman yang baik." Shana tersenyum lembut kepada Naya.

"Lo bener, gue gak boleh tenggelam di kegelapan. Gue harus menerangi kegelapan." Naya ikut tersenyum bersama Shana.

Sepertinya ini adalah langkah awal untuk memulai kehidupannya yang baru. Melupakan semua rasa sakit yang menyerang. Kini Naya membuka lembaran buku kehidupannya yang baru.

***

Meru memasuki kelas dengan jantung yang berdetak keras. Karena ucapannya semalam ia tak bisa tidur. Mengapa dirinya mengatakan itu? Tak bisa kah dirinya menahan perasaan ini.

Sungguh bodoh dirinya. Kini ia bingung bagaimana harus bersikap didepan Naya. Tapi, ia tidak menyesal mengatakannya sudah sejak lama ia menyukai Naya hanya saja ia yang kalah dengan waktu sehingga Naya tak bisa ia miliki.

Meru melihat ke arah meja Naya seketika dahinya berlipat. Sejak kapan dua gadis yang ia kenali duduk bersama dan mengobrol dengan akrab. Apakah matanya salah melihat? Atau ini hanya mimpi? Meru mengusap kedua matanya memerhatikan dengan seksama. Ternyata matanya tidak salah.

Di sana Naya dan Shana sedang mengobrol layaknya teman. Shana tampak tertawa dengan lepas dan Naya tersenyum kecil menanggapi ucapan Shana.

Ini sebuah hal yang luar biasa. Meru tak pernah melihat Naya berbicara dengan teman sesama jenisnya. Naya sangat tertutup, tapi untuk pertama kalinya ia melihat Naya berinterkasi dengan Shana.

Meru menghampiri keduanya. "Asik banget ngobrolnya, gue sampe dicuekin." Meru berpura-pura merajuk. "Eh, Meru sini."

"Nah, gini dong akur. Jadi adem kan liatnya," celetuk Meru tiba-tiba.

"Dari dulu gue juga baik-baik aja sama Shana. Emangnya, lo," sindir Naya. Sebenarnya Naya canggung jika bertemu dengan Meru, namun ia tidak boleh menunjukannya.

"Lo yang ngajak gue ribut duluan," Meru membalas Naya.

"Kalo lo gak mancing-mancing gue juga gak akan mulai duluan."

"Lo aja yang sensitif, gampang kesenggol."

"Udah, berhenti, kalian ini kalo ketemu pasti berantem." Shana menengahi keduanya.

"Dia duluan yang mulai," ujar Meru.

"Lo yang duluan."

"Udah deh, pusing aku kalo kalian berantem terus. Oh iya kalian pulang sekolah ada waktu?" Shana harus mengalihkan pembicaraan.

"Gak ada acara kok. Emang kenapa?" Meru menjawab.

"Gue juga gak ada." Naya pun menjawab.

Shana langsung tersenyum. "Nanti pulang sekolah, mau gak kalian main ke rumahku? Ayah sama Bunda pergi acara bisnis. Kakak aku juga udah pulang, aku di rumah sendiri cuma sama pembantu."

"Boleh tuh, gue juga males pulang. Dirumah juga sama sepi." Meru setuju dengan usul Shana. "Lo, gimana Nay?"

Naya berpikir sejenak. "Oke deh, gue juga ikut." Shana sangat senang. "Asik, aku dari dulu pengen ajak teman kerumah tapi aku gak punya teman dekat. Tapi sekarang ada kalian makasih, ya."

***

See you

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang