27. Terpuruk

18 4 2
                                    

Susan kini tengah berlari di lorong rumah sakit karena ia mendapat kabar bahwa sang putri tak sadarkan diri. Ia harus segera menemui putrinya. Tetapi langkahnya terhenti karena menabrak seseorang.

"Maaf Pak, saya sedang buru-buru," ujarnya sembari mendongak melihat sosok yang ia tabrak.

"Lesmana."

"Susan."

Keduanya tampak terkejut dengan pertemuan mereka. Sudah lama mereka tidak bertemu mungkin 16 tahun yang lalu ketika palu di ketuk hakim.

"Kenapa kamu ada di sini?" Susan bertanya. "Aku ditugaskan dikota ini, jadi aku pindah kemari."

"Kenapa kamu tadi terburu-buru?" Lesmana bertanya.

"Anaya, dia pingsan di taman."

"Bagaimana keadaannya?" Lesmana tampak cemas. "Belum tahu." Susan hanya menggeleng.

"Shanaya juga sekarang berada di rumah sakit, ia tertabrak." Ucapan Lesamana membuat Susan terkejut.

"Lalu bagaimana keadaannya?" Susan tampak cemas.

"Dia masih ditangani oleh dokter."

"Aku harap anak kita segera sembuh," gumam Lesamana.

***

Shana kini sedang berbaring di ranjang rumah sakit. Walaupun ia berhasil lolos dari Sandra tapi ia tak bisa lolos dari sebuah truk yang menghantam dirinya. Ia terpental hingga kepalanya membentur aspal.

Matanya mulai bergerak. Perlahan mata itu mulai terbuka. Tapi hanya warna hitam yang terlihat. Shana terus mengerjapkan matanya namun nihil masih tetap sama.

Bundanya yang menjaga segera menghampiri Shana. "Kamu sudah sadar, sayang?"

"Bun, kenapa semuanya gelap? Apakah mati lampu?" Shana bertanya pada Bundanya. "Kamu bicara apa, sayang? Ruangan ini terang kok, semua lampu menyala"

"Tapi semuanya gelap, Bun."

Sarah yang mendengar itu seketika panik ia segera memanggil dokter untuk memeriksa keadaan putrinya.

Dokter segera datang dan memeriksa keadaan Shana.

"Sepertinya Shana mengalami benturan keras di kepalanya dan mengenai saraf penglihatannya. Kemungkinan Shana akan mengalami kebutaan. Tapi kami akan melakukan CT-scan pada Shana untuk memastikan penyebabnya," tutur dokter itu.

Bagaikan tersambar petir di siang hari. Shana dan Bundanya terkejut mendengar penuturan dokter.

"Apa anak saya bisa melihat kembali, Dok?" Sarah Bunda Shana bertanya.

"Untuk sekarang saya belum bisa memastikan, setelah hasil CT-scan keluar saya akan mengabari kembali. Kalau begitu saya permisi." Dokter itu meninggalkan ruangan Shana.

Setelah mendengar diagnosa dokter Shana hanya diam pikirannya melayang entah kemana. Ia hanya diam.

Sarah langsung memeluk Shana ia menangis melihat nasib putrinya.

"Kamu yang sabar ya, pasti kamu bisa melihat lagi." Tapi Shana tak merespon ia hanya diam. Sedih sudah pasti, kecewa apalagi, tapi takdir yang menentukan nasib seseorang. Mungkin inilah takdir untuk dirinya melihat dunia dalam kegelapan.

Ia pernah berjanji akan membawa Naya keluar dari kegelapan, namun kini dirinyalah yang terjebak di lubang dalam dan gelap.

Lesaman memasuki ruangan sang putri. Ia terkejut melihat istrinya menangis memeluk putrinya yang sedang termanggu diam.

"Shana, bagaimana keadaanmu?" Lesmana mulai mendekati sang putri tapi Shana masih diam.

"Apa ada masalah? Bagaimana keadaan Shana?" Lesmana bertanya kepada Sarah.

Sarah mengurai pelukannya pada Shana. "Shana.... anak kita, dia tidak bisa melihat," ujar Sarah dengan air mata yang terus keluar.

"Apa maksudmu?" Lesmana tidak percaya apa yang didengarnya. "Kepala Shana mengalami benturan keras dan mengenai saraf dimatanya sehingga Shana tidak bisa melihat lagi."

Lesamana terkejut dengan apa yang dikatakan istrinya. Putrinya mengalami kebutaan. Ia merasa gagal menjadi seorang ayah. Ia tak bisa melindungi sang putri.

"Shana," ujarnya dengan lirih sembari mendekap sang putri. "Maaf, maafkan ayah."

Shana hanya diam ia tak merespon perkataan sang ayah. Raganya masih disini, namun jiwanya melayang jauh.

"Maafkan ayah."

***

Susan tengah menemani Naya yang masih belum sadarkan diri. Ia langsung pergi begitu mendapat kabar jika sang putri tak sadarkan diri. Ia sangat cemas mengingat kondisi sang putri yang lemah.

"Bangun, Nak. Ibu mohon." Susan memandang sendu wajah Naya yang pucat. Digenggam tangan lemah itu menyalurkan kekuatan didalamnya.

"Bu..." Suara itu menyadarkan Susan, kini sang putri telah sadar. "Iya, Nak Ibu disini. Kamu butuh apa?"

"Air, Bu." Susan memberikan air kepada Naya. "Gimana keadaan kamu sekarang? Ada yang sakit?" Susan bertanya sembari mengecek kondisi sang putri.

Naya terkekeh melihat Ibunya yang sangat khawatir. Lucu sekali ekspresi Ibunya. Mungkin ia akan mengingat ekspresi Ibunya saat ini.

"Ibunya lagi khawatir, tapi kamu malah cengengesan." Naya menyunggingkan senyumnya. "Habis Ibu lucu kalo khawatir"

"Ibu panggil dokter dulu ya buat periksa kamu." Naya mengangguk mengiyakan.

"Bu..." Susan menghentikan langkahnya. "Ana sayang Ibu," ujar Naya sembari tersenyum. Susan membalasnya "Ibu juga sayang, Anaya."

Tak butuh waktu lama seorang dokter memasuki ruangan Naya. "Bagaimana keadaanmu, Nay?"

"Sudah lebih baik, Dok" Naya menjawab setelah sang dokter memeriksa. "Kamu merasa lebih baik sekarang, namun rasa sakit akan sering datang kapan saja. Sebaiknya kamu menjalani operasi sebelum menyebar organ lainnya."

"Jangan mengabaikan rasa sakit yang datang. Belakangan ini kaki kamu sering kesemutan dan tiba-tiba tidak bisa digerakan kan?" Naya mengangguk. "Sel kanker itu sudah menyebar ke bagian tulang yang lain. Saya sarankan sebaiknya kamu melakukan operasi."

"Tapi saya tidak mau kaki saya diamputasi" Naya berujar lirih. "Amputasi adalah jalan lain jika sel kanker sudah menyebar luas dibagian tulang yang lain. Sebelum terlambat sebaiknya kamu menjalani operasi."

Naya sudah tahu, cepat atau lambat dirinya harus mendengar hal ini. Walaupun kemungkinannya sembuh tidak seratus persen tapi Naya masih memiliki harapan. "Sebelum menjalani operasi, sebaiknya kita memeriksa keadaan kamu lebih lanjut untuk memantau perkembangan kanker yang menyebar."

Setelah itu dokter pergi meninggalkan ruangan Naya. "Bu, Naya takut." Susan segera memeluk sang putri ia sama takutnya dengan Naya. Ia tidak bisa melihat Naya seperti ini pitri kecilnya tak boleh seperti ini.

"Ibu ada di sini, Nak" Naya merasakan hangatnya pelukan Ibunya. Ibunya adalah sumber kekuatan dirinya.

Satu tahun yang lalu ia divonis menderita kanker tulang stadium tiga. Awalnya ia sangat terkejut dan patah semangat, tapi ibunya selalu disampingnya. Mendampingi Naya ketika kemoterapi atau mengontrol kesehatannya. Ia tak ingin membuat ibunya kecewa jika ia menyerah.

"Bu, Naya mau di operasi."

***

See you again

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang